20:: Penyakit Lain

112 13 6
                                    

"Gue bisa kok nemenin lo sampe lo dapet pengganti gue."

Ezra yang duduk di samping kursi pengemudi –Fulan– hanya bisa menghela napas sebagai jawaban. Kepalanya menoleh melihat keadaan di luar. Pagi ini, sekolah akan kembali di rutinitas utamanya. Fulan memutuskan untuk singgah di Indonesia untuk bahan pemotretan majalahnya.

"Ezra." Kini Ezra menoleh. Fulan dan mobilnya sudah berhenti di parkiran Semesta 11. Fulan meneliti wajah Ezra yang masih diam, menampakkan alis yang tebal juga rapi dengan rahang yang tegas serta mata tajamnya yang selalu ia puja. Pastilah banyak gadis yang mengaguminya. Namun terasa aneh mendengar cerita yang sempat Ezra lontarkan pada Fulan.

"Gue nyari orang sampe ke sini, dan sekarang pulang dengan tangan kosong."

"Lo bawa gue Zra, lo bawa gue pulang."

"Status kita mantan."

Hati kecilnya menjerit. Mengetahui kebenaran pernyataan Ezra. Fulan menginginkan kesempatan kedua. Fulan mengharapkannya.

"Gue bisa jemput lo nanti." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari lisannya. Ia masih ragu untuk meminta kesempatan itu pada Ezra. Perlahan tapi pasti, lo bakal jatuh ke tangan gue, batinnya.

"Nggak perlu. Gue bisa sendiri." Ezra keluar dari mobil Fulan. Menyadari itu Fulan dengan cepat keluar dan berteriak memanggil Ezra.

"Ezra!" Yang di panggil berhenti dan membalikkan badan. Fulan berlari mendekap Ezra, menghiraukan tatapan bahkan teriakan seseorang yang melihat kejadian itu. Fulan perlahan mendekati telinga Ezra dan membisikkan sesuatu padanya.

"Tanpa lo suruh, gue pasti lakuin itu."

◊◊◊

Feby berangkat menuju sekolah kala itu. Suasana hatinya mulai menghangat. Ia ingat pengalaman saat ia berteriak untuk pertama kalinya setelah 2 tahun lamanya ia diselimuti oleh kebisuan. Disneyland dan wahananya seolah menyemangati kehidupan kelam yang perlu dihapuskan.

Dengan langkah kaki yang mantap, ia menyapa Vika untuk pertama kalinya.

"Ya Tuhan!" Vika masih berdiri di tempatnya. Di sebelahnya ada Petra –yang sudah menjabat menjadi ketua OSIS saat itu– yang sama terkejutnya. Petra tahu Feby bisu, dan sekarang ia merasa sedang bermimpi.

"Ini lo Feby?" Vika bertanya dengan nada antusias. Kemudian Vika merengkuh gadis mungil itu ke dalam dekapannya. Keduanya dengan semangat menyapa semua murid yang ada, tanpa terkecuali guru.

Dalam sekejap, berita itu menyebar dan menggemparkan Semesta 11. Hingga muncul jeritan histeris dari arah parkiran. Vika dan Feby berhenti dan saling pandang. Keduanya langsung menuju sumber suara yang ternyata di penuhi sesak siswa-siswi.

"Ini kenapa ya?" Vika bergumam. Feby yang tidak mau kalah mencoba berjinjit agar dapat melihat pusat yang seperti dibatasi lingkaran lebar para murid. Akhirnya genggaman tangan Vika mengendur, seolah membebaskan Feby melihat kejadian yang tengah berlangsung.

Namun rasanya Feby ingin berlari. Berlari hingga siswa terakhir, berlari sampai ke ujung dunia. Semuanya bagai berjalan layaknya gadis patah hati bertemu bunga yang bertepuk sebelah tangan. Dia ingat, 'aku senang tadi, tapi sekarang sangat buruk' karena saat ini, mungkin saat ini tidak ada yang dapat membuatmu lebih baik.

Matanya menangkap seorang gadis, tengah mencium pipi Ezra, ia yakin itu. Kakinya terasa menyatu dengan bumi, menunggu hingga bumi menelannya tanpa sisa. Berharap dunia 'kan kembali kokoh meski perlahan memudar kelabu.

Itu Ezra? Itu Ezra.

Sampai bunyi nyaring menginterupsi seluruh siswa agar menghambur ke lapangan untuk mengikuti upacara. Gadis itu perlahan melepaskan Ezra dan masuk untuk memacu kendaraannya membelah kemacetan.

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang