8:: Koneksi

90 21 23
                                    

Malam itu, Ricky terbangun. Kepalanya sakit. Tangannya juga merasakan kram. Tidak sengaja tidur di lantai ruang tamu.

Ricky melirik jarum jam yang menunjukkan pukul 1 dini hari. 2 minggu belakangan ini ia hancur. Namun dirinya harus tetap merasa senang saat di dekat Arfan dan Ezra. Ricky tidak mau merepotkan mereka berdua. Ia juga tidak ingin ada yang menyampuri urusannya.

Sebenarnya, ia sesekali memberitahu Ezra tentang keadaannya, tapi tidak begitu detail.

Dengan tahu Tasya datang tempo hari, membuatnya tidak bisa tidur. Kemudian fakta lain yang menyatakan bahwa Tasya mengadakan suatu pesta di apartemennya. Tidak menampik  suara pria yang tidak dikenalinya berdebat dengan Tasya. Dan yang lebih parah lagi, tidak akan di sebutkan di sini.

"Tasya!" Suara musik yang semakin keras menenggelamkan panggilan Ricky. Ricky memutuskan untuk memanggilnya via telepon. Nada sambung berbunyi dan suara musik langsung terdengar dari dalam ponsel.

"Tasya!" Ricky langsung memanggilnya, tapi tidak ada jawaban sama sekali.

"Gue yang salah, Tas! Tasya!" kemudian panggilan itu berakhir.

"Nggak! Lo nggak ngerti Tas! Lo nggak inget apa-apa!" Ricky berteriak histeris di kamarnya. Tangannya terus menerus memukul dinding kamarnya. Sesekali ia membenturkan kepalanya dengan keras, saking frustasinya. Ia tidak tahan.

Tangannya menghantam benda kokoh itu seakan benda itu yang bersalah atas semua masalahnya. Seakan dinding itu yang dibuat Tasya untuk menjadi penghalang Ricky. Kepalanya berdenyut nyeri, dahinya berbenturan keras. Namun ia terus bertahan seakan tidak ada cara lain untuk menggapai Tasya selain menghancurkan dirinya.

"Tasya dengerin gue!"

Itu yang terjadi di beberapa jam terakhir sampai ia tidak sadarkan diri.

Ricky memutuskan untuk pergi mandi, di saat suhu ruangan masih dingin. Ia membersihkan sisa darah di kepala dan tangannya. Ia memutuskan untuk tidak sekolah hari ini.

Beberapa kali juga Ricky tertangkap basah oleh Ezra atau Arfan saat sedang mengelap kacamatanya. Kacamata yang digunakan untuk menutupi matanya yang menyedihkan. Tapi tetap saja, matanya masih terlihat menyedihkan.

"Tasya, maafin gue." Ricky berbicara lirih pada dirinya sendiri. Air terus mengalir dari shower membasahi rambut dan seluruh badannya. Suasana masih sangat sepi. Pikirannya terus mengarah pada kenyataan yang ia benci. Di mana dirinya merasa bersalah. Di mana dirinya menyesal.

"Tasya, gue minta maaf. Dengerin gue Tas,"

◊◊◊

Langit tiba-tiba saja mendung, Feby belum beranjak dari tempatnya duduk. Masih di dalam kelas untuk mengerjakan piket bagiannya. Teman sekelasnya tidak tahu kekurangan yang diderita Feby, mereka hanya berasumsi Feby pemalu.

Feby, Papa nggak bisa jemput kamu tepat waktu, paling telat setengah jam lagi baru sampe.

Feby mendesah pasrah. Sedikit kecewa dengan sederet kalimat yang dikirimkan ayahnya. Itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Ia sudah menghabiskan waktu 15 menit dari bel pulang, pastilah sekolah sudah sepi. Apalagi jika harus menunggu 30 menit, bisa-bisa Feby dikunci oleh sekolah.

Itu tidak akan terjadi.

Jika ia pulang berjalan kaki.

Ya, apa boleh buat. Feby tidak bisa naik angkutan umun, atau taxi. Itu ide yang buruk. Ia juga takut naik ojek, bahkan ojek yang bisa di pesan langsung menuju rumahnya. Feby belum punya mental untuk itu semua.

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang