12:: Lost

77 13 0
                                    


Geo datang dengan napasnya yang terengah-engah. Lari pagi rutin dilakukannya, oleh karena itu ia melakukannya juga pagi ini.

"Komplek masih sama ya, nggak berubah. Tetep sepi." Geo meneguk segelas air putih di atas meja. Rosa yang sedang menyiapkan sarapan terkekeh dan menggelengkan kepala.

"Kamu masih nggak berubah ya, masuk ke rumah masih pakai sepatu." Geo menaruh gelasnya di atas meja. Kemudian ia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Merasa malu dengan kenyataan yang keluar dari lisan Rosa.

"Iya-iya, nih dilepas." Goe melepas sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu.

"Feby mana? Nggak di ajak?" Antony datang sambil membawa cangkir bekas kopinya.

Geo menoleh, "Tadi dia masih pules, kan kasian."

Di saat yang sama, Feby masih berada di dalam kamarnya. Pakaiannya sudah tidak memakai pajamas. Ia sibuk mencari sebuah benda. Benda yang sangat penting dalam hidupnya. Ia masih ingat tempat terakhir ia menyimpan benda itu. Tapi saat ia bangun, benda itu sudah tidak ada.

Alat bantu telinga gue ke mana?

Feby mencarinya ke setiap sudut kamarnya. Tapi hasilnya sama, tetap tidak ada.

Feby kemudian frustasi dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Ke mana? Ke mana?

Ia berteriak putus asa, cairan beningnya mulai keluar dari pelupuk matanya. Tapi Feby tidak bisa bersuara, tidak ada jeritan yang keluar. Hanya ada bisu yang menguasinya.

Tubuhnya lemas. Feby menyandarkan dirinya di sudut kamar. Perlahan ia menarik lututnya dan memeluknya. Mencoba mengingat letak benda yang hilang itu. Feby terisak, namun tidak ada yang mendengar. Ia menenggelamkan wajahnya di pelukan lututnya.

Kenapa gue dapet kesulitan lagi? Kanapa?

"Kamu yakin Feby masih tidur, Yo?" Antony sedang memilih saluran televisi yang menarik. Sedangkan Geo sudah berganti pakaian dan memainkan ponselnya. Geo mendongak dan menyadari perkataan Antony ada benarnya.

"Um, tadi sih gitu," Geo memasukkan ponselnya ke dalam saku dan beranjak menuju lantai 2. "Geo cek lagi."

Geo menaiki satu persatu anak tangga untuk menuju kamar Feby. Ia tidak tahu keadaan yang ada di dalam kamar itu. Geo berharap Feby sudah bangun, jadi dia tidak perlu membangunkannya.

Geo mengetuk pintu sebanyak 3 kali kemudian memanggil nama Feby.

"Feby.. Feb, buka pintunya." Geo tidak mendapat jawaban, sehingga ia mengulang hal yang sama.

"Feby... Feb, lo udah bangun kan?" Lagi-lagi Geo tidak memperoleh jawaban.

Ia mencoba membuka pintu, tetapi ia tidak bisa. Pintu itu dikunci.

"Feb.. Buka pintunya Feb!" Ia mencoba membuka dengan memutar knop pintu berulang-ulang. Hasilnya tetap sama, tidak dapat dibuka.

Geo akhirnya memiliki cara yang dirasanya berhasil. Ia menuruni tangga dan menemui Rosa.

"Mom, kunci ganda kamar Feby di mana?" Namun, Geo gagal mengatur cara bicaranya. Ia terlihat sangat panik dan membuat Rosa berburuk sangka.

"Feby kenapa?" Rosa bertanya.

"Kamarnya di kunci, dan Feby ada di dalem." Rosa kembali dengan menggenggam kunci kamar Feby ditangannya.

Keduanya berlari dan mendatangi kamar Feby. Mereka berharap Feby baik-baik saja.

Kunci itu dapat masuk dan membuka pintu kamar Feby. Keduanya bernapas lega sebelum masuk ke dalam.

Geo menangkap sosok Feby di sudut kamar. Dengan cepat ia menghampiri dan berlutut menyamakan posisi seperti Feby. Geo menggungcang kedua pundak Feby.

Feby yang merasakan itu perlahan mendongak. Geo dan Rosa sudah mengelilinginya. Feby mengusap air matanya dan mencoba mengatur napas. Geo nampak bingung, tapi ia berusaha menenangkan Feby dan mengubur rasa penasarannya. Rosa yang tidak sanggup melihat kondisi Feby juga sedikit menitikkan air mata. Ia mengetahui sesuatu yang tidak baik sedang menimpa putrinya itu.

Rosa berinisiatif mengambil minum untuk Feby. Tidak lama, ia kembali dan menyodorkan minum yang langsung diterima oleh Feby.

Feby membenarkan posisi duduknya. Ia kemudian menarik napas yang dalam, kemudian membuangnya.

"Mau makan?" Geo mulai bersuara. Rosa memutuskan untuk pergi saat dirasa suasana mulai membaik.

Namun, Feby tak kunjung bergerak. Geo tidak tahu jika Feby sudah tidak bisa mendengar lagi.

Feby menatap Geo dengan penyesalan. Ia kemudian menyibakkan rambut dan menunjuk telinganya, berharap agar Geo mengerti.

Alatnya hilang!

Begitu maksud Feby. Ia terus memperagakan gerakan yang kira-kira bisa menyiasati arti tersebut. Dengan menunjuk telinganya kemudian menggerak-gerakkan tangannya seperti melambai dengan maksud 'tidak bisa' kemudian menaruh tangannya di belakang telinga agar bermaksud 'mendengar'

Gue nggak bisa denger!

Begitulah maksudnya sampai Geo mengerti. Feby kembali menitikkan air matanya dan melafalkan kata 'hilang' berulang kali. Namun tetap saja tidak ada suara yang keluar dari lisannya.

"Nggak apa-apa, lo pasti kuat Feb. Lo pasti bisa nemuin alatnya, gue yakin. Suatu saat pasti ketemu." Geo menarik Feby ke dalam pelukannya, tidak tega melihat keadaan adiknya tersiksa lagi.

"Pasti lo bisa." Geo memejamkan matanya berharap. Tangannya bergerak mengusap rambut Feby, menenangkan. Punggung Feby berguncang akibat menangis. Entah mengapa semangat yang sudah sulit ia bangun, kembali runtuh. Ia merutuki dirinya dalam hati karena ceroboh.

How stupid I am!

◊◊◊

Malam itu, ada kabut keraguan yang mengelilinginya. Ia masih menatap lekat bungkusan itu.

"Gue nggak mau ngekhianatin Ezra," Kepalanya menggeleng kemudian ia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Jarinya memijit tulang hidungnya berulang kali. Pening rasanya.

"Tapi gue butuh!"

Di saat yang sama, ponsel Ricky berdering. Menandakan panggilan masuk. Ricky melihat caller id yang menunjukkan nama 'Ezra'

Ricky segera memosisikan duduknya dan mengangkat panggilan itu. Ia menelan salivanya kemudian mulai bersuara.

"Halo?"

"Rick!"

"Kenapa Zra?"

"Gue.. kena hukum." Ricky mengerutkan dahinya yang tentu saja tidak dapat dilihat oleh Ezra. "Motor gue di sita."

"Ohh, terus?" Terdengar Ezra menghela napasnya sabar.

"Gue harus ke motor cadangan gue."

"Yang Vespa?" Ricky mengulum senyum saat mengeluarkan kalimat itu.

"Bukan! Sejak kapan gue punya motor Vespa ya Tuhan!"

"Yang Naruto– eh, Ninja?" Ricky mencoba meredakan tawanya.

"Iya, lo mau bantuin gue kan?" Ricky diam dan menggumam 'hm' nada panjang yang membuat Ezra tidak sabar.

"Rick!"

"Ya ya ya gue mau. Ngapain?"

"Besok pagi lo dateng depan komplek gue, inget jangan di rumah gue!"

"Kenapa nggak ngambil motornya sekarang?"

"Heh! Lo nggak mikir sekarang jam berapa? Apalagi sekarang gue lagi masa hukuman, nggak bisa keluar masuk rumah." Ricky menoleh ke arah jam yang terpasang di dindingnya. Pantas saja, jarum menunjukkan angka 11 yang artinya sudah cukup larut.

"Oh iya!"

"Ya udah lo jangan lupa!"

"Iya,"

"Jangan telat!"

"Iya,"

"Depan komplek!"

"Bawel." Ricky langsung memutuskan panggilan secara sepihak yang sudah pasti membuat Ezra kesal. Ricky selalu seperti itu dan ia hanya bisa tertawa lepas mengingatnya. "Pasti ketahuan lagi."

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang