23:: The Weight

86 12 5
                                    

"Ayo, ikut aja."

"Lo apa-apaan sih!"

"Gue udah jelasin berapa kali ke lo sih, lo nggak dengerin?" Feby berhenti melangkah, buku yang dibacanya sudah tidak ada di tangan, bahkan sekarang tas sekolahnya sudah bertengger di punggungnya.

Gue ngelamun lagi.

"Lo kenapa sih, Feb?" Ezra kembali menarik tangan Feby agar kembali melangkah. Ezra sudah tidak tahan dengan ceramahan yang ia terima dari Arfan. Padahal masih ada 5 hari lagi sebelum mereka tampil. Arfan, yang berkoar-koar mengingatkan Ezra pun belum menyiapkan apa-apa untuk tampil nanti.

"Ini mau ngapain, ya?" Feby menarik tangannya dan berhenti kembali. Ezra menoleh dan menghela napas.

"Latihan, di rumah gue." Lagi, Ezra mengambil tangan Feby dan menyeretnya bahkan sang mpu belum sempat menarik napas untuk protes.

"Sekarang jam berapa?" Ezra bertanya sambil terus berjalan, beberapa siswa yang masih ada urusan di sekolah pun harus menyingkir agar tidak bertubrukan.

"Jam 5." Feby melepaskan tautan tangannya dan berjalan menuju gerbang, meninggalkan Ezra dengan kebingungan di benaknya. Feby mempercepat langkahnya dan berusaha meredakan debaran jantungnya. Kakinya mengetuk-ngetukan ubin yang ia pijak.

"Lu mau ngapain?" Feby mendongakkan kepalanya. Melihat seseorang menyembulkan kepalanya dari jendela. "Sampe lebaran gajah juga, angkot nggak bakal lewat."

Feby memutar otak, kemudian mendengus kesal karena teringat jalanan yang sedang diperbaiki.

"Udah lo sekarang naik, buruan!" Ezra kembali bersuara setelah tidak mendapat respon apapun dari Feby. "Ngapain sih lo tadi sok-sok pergi gitu, capek sendiri kan?"Ezra terkekeh dan keluar dari mobil. Feby tidak dapat melawan Ezra sekarang yang memasukkannya ke dalam mobil.

"Susah banget sih di atur." Ezra bergumam sambil menutup pintu Feby. "Untung sayang."

Feby memejamkan matanya sebentar sebelum dengan ekstra menormalkan kecepatan jantungnya. Merasa jika pendengarannya tidak salah, Feby memilih untuk bungkam saja. Keheningan dalam mobil juga tidak dipecahkan oleh keduanya. Hingga mobil yang ditumpangi masuk ke dalam pekarangan rumah. Mobil itu berbeda dengan yang Feby tumpangi sebelumnya.

Dari halaman, datang seorang wanita sedikit tergopoh-gopoh layaknya khawatir akan sesuatu. "Lho, Den Ezra tumben pulang cepet. Bibi belum selesai masak." Ezra sudah turun dari mobil nampak mengulas senyum pada Bi Asti.

Feby turun setelah dengan terkejut karena Ezra yang membuka pintunya terlebih dahulu. Feby membuka mulutnya hendak memprotes, namun tidak jadi setelah Ezra menggelengkan kepala mengisyaratkan 'nggak masalah' pada Feby.

"Loh, ada Mbak Ayu juga ternyata." Keduanya menoleh pada Bi Asti yang tidak jauh dari mereka. "Ya udah masuk dulu, nanti Bibi siapin minum."

"Bonyok ke mana, Bi?" Ezra bertanya pada Bi Asti yang dengan semangat berjalan ke dalam rumah.

"Belum pulang Den, mungkin malem."

Dalam diam Feby mengamati sekitar, tidak begitu detail tapi ia tahu Ezra juga orang berada dengan banyak hal yang tidak Feby ketahui. "Gue anak tunggal." Ezra tiba-tiba bersuara. "Orangtua gue semuanya sibuk."

"Nah, ini di minum dulu." Bi Asti datang membawa 2 gelas berisi sirup segar. "Mbak Ayu ini namanya siapa?"

"Febyona, Bi." Feby tersenyum sambil mengucapkan terimakasih sebelumnya.

"Namanya bagus, cocok sama Den Ezra. Kalo Bibi panggil aja Bi Asti." Bi Asti menatap keduanya sambil tersenyum, pastilah menyenangkan jika mengerjai Ezra sekarang. "Belum ada perempuan yang dibawa Den Ezra ke sini selain Nyonya loh. Berarti Mbak yang pertama." Ezra yang mendengarnya menggaruk belakang kepalanya. "Ya udah Bibi balik dulu ya, masih ada kerjaan." Bi Asti terkekeh sebentar sebelum benar-benar kembali melanjutkan pekerjaan rumah.

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang