Feby sampai, sekitar satu jam sudah perjalanan yang ia tempuh menuju tempat terapi. Feby sudah tidak dirawat, dan operasi berjalan mulus.
Ia ingat kata pertama yang ia ucapkan spontan saat baru siuman pada malam hari.
Ezra
Feby mengucapkan kata itu. Meski belum lancar dan jelas, tapi setidaknya ia bisa menggerakan mulutnya untuk berbicara lagi. Dan, hanya dia yang mendengar kata itu. Selepasnya ia tidak banyak berbicara karena tidak ingin.
"Feb, ngomong dong. Kan lo belum nyobain ngomong." Geo mendorong kursi roda Feby. Sebenarnya, Feby baik-baik saja, namun ia ingin menaiki kursi roda.
"Iya Feb, kakak belum pernah denger suara kamu." Alexa ikut menimpali percakapan mereka. Feby mendongak dan tersenyum tipis.
Hening seketika. Feby tidak tahu apakah ia bisa mengeluarkan suaranya lagi atau tidak, karena percobaan pertama hanya reaksi spontannya saja.
"H-hai." Feby mencoba bersuara. Geo dan Alexa langsung dengan spontan berteriak.
"Astaga Feb, ini beneran! Gue harus telepon mom lagi."
"Feby kamu udah sembuh!" Alexa berlutut di hadapan Feby. Ia mengusap pipi gadis itu lembut.
Feby di bawa masuk menuju suatu ruangan. Di sana sudah ada dokter yang menangani Feby. Ada beberapa alat yang Feby tidak ketahui fungsinya, tidak semua alat. Bahkan Feby masih tidak percaya jika ia sembuh.
Yang gue tau, penyakit gue nggak permanen, itu aja.
Lagi dan lagi Feby memikirkan sebuah nama, yang ingin rasanya ia ucap berkali-kali. Berharap agar seseorang itu muncul di hadapannya. Ingin Feby melihat dua mata yang menatapnya tanpa kedip, ingin Feby merasa menjadi spesial di saat semua rela melakukan apapun untuk mendapatkannya, ingin Feby mendapat sebuah garis lengkung menghias di wajahnya. Feby menginginkannya.
Dan yang gue tau, Ezra pasti ada di sana.
◊◊◊
Ezra berkemas, sedikit frustasi karena ternyata ia terlambat bangun. Suasana pagi tidak begitu buruk, namun tetap saja Ezra masih sedikit kesal. Ezra tidak membutuhkan kendaraan untuk menuju rumah sakit.
Dengan cepat, ia bertanya kamar yang beratasnamakan 'Feby' di sana. Seorang perawat yang baru saja datang langsung ditanyai oleh perawat lain yang baru saja Ezra tanyai. Rupanya, perawat itu baru saja keluar dari kamar Feby. Bahkan yang membuat Ezra kehilangan arah adalah, kenyataan bahwa Feby tidak dirawat di rumah sakit itu lagi.
Sempat dirinya merasa putus asa, jika saja satu perawat lagi tidak datang dan memberitahukan keberadaan pasien 'Feby' yang melanjutkan berobat terapi khusus di ujung kota Hong Kong ini. Perjalanan cukup jauh sehingga membutuhkan biaya dan waktu yang cukup lama.
"Anjir tutup!"
Ezra baru saja sampai dan melihat gedung yang didominasi warna putih, namun tidak ada gerbang atau pintu yang terbuka, pertanda tutup. Tanda 'closed' di balik pintu kaca itu membuktikan semuanya. Ezra menghela napasnya. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia memutuskan untuk duduk sejenak. Merasa alamat dan jalan sudah sama persis seperti yang disebutkan di website.
"Gue harus apa Ya Tuhan?" Ezra melihat ke atas, sinar matahari cukup terik. Tidak ada cara lain selain mencoba lagi besok.
Keesokan harinya sama, bangunan itu tetap tertutup. Sayangnya, Ezra tidak mengetahui jadwal buka-tutup bangunan itu.
Lusanya, Ezra tidak tahu harus apa. Pasalnya, Feby belum bisa ditemukannya. Terbersit pikiran untuk bertanya pada Arfan apa yang harus ia lakukan. Dan cara itu yang Ezra pakai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenity [✓]
Novela JuvenilSerenity (n) : the state of being calm, peaceful, and untroubled. Tapi, 'ketenangan' seperti apa? Sang puan hanya menahan pilu, berharap mampu mengucap rindu. Sang pangeran tertawa semu, tak bisa lupa akan masa lalu. Dua pemuda yang masih beradu, be...
![Serenity [✓]](https://img.wattpad.com/cover/87195331-64-k20045.jpg)