6:: Disaster

150 27 16
                                    

Rosaline terbangun dari mimpinya. Ia merasa tidurnya tidak nyenyak. Di tambah saat ia melihat ke lantai bawah, Geo tidak ada.

Hatinya masih cemas. Dengan susah payah ia menahan dirinya agar tidak menangis. Tuhan masih sayang padanya. Tuhan masih mempercayainya untuk menitipkan Antony dan Feby padanya. Keduanya selamat walaupun mendapatkan luka.

Tangannya perlahan menekan nomor untuk memanggil seseorang. Setelah menunggu nada sambung, terdengarlah suara Geo khas bangun tidur.

"Maaf mom, kemarin Geo ketiduran di kantor polisi."

Rosa sedikit terkekeh dengan parkataan Geo barusan. Mengapa bisa ketiduran sudah tidak Rosa bahas. Yang ia ingin tanyakan apakah Geo baik-baik saja, dan sedang di mana.

"Sekarang kamu di mana?" Rosa berharap Geo tidak kelelahan unntuk mengantarkannya ke rumah sakit. Tapi kemungkinan itu sangat kecil. Mendengar kata ketiduran, pastilah ia tidak sengaja tidur karena kelelahan.

"Mau pulang ke rumah kok. Oh iya, mom mau di anterin ke rumah sakit?"

Baru saja kalimat itu keluar dari lisan Geo, Rosa sudah mengangguk dan pasti tidak dapat dilihat oleh Geo. "Tapi,"

Rosa sedikit bimbang. Ia tidak tega dengan keadaan Geo yang pastinya kelelahan. Dalam keadaan seperti ini, ia harus menentukan keputusan yang baik.

"Kamu pulang aja, istirahat. Biar mom yang ke rumah sakit pake mobil kamu."

◊◊◊

Suasana rumah sakit bisa di bilang ramai. Tepatnya di lantai 4, tempat kamar Antony berada. Rosa berjalan sambil mendorong kursi roda Antony memasuki suatu kamar. Dadanya sakit. Matanya sembab. Rosa tidak sanggup menanggung beban yang ia dapat.

Seusai mengurusi administrasi, dokter memberi tahu informasi perkembangan Feby.

Feby tuli.

Feby bisu.

Feby tersiksa.

Feby terisak.

Di tempat ia berdiri, lurus di depan matanya, Feby terduduk sambil menunduk. Tangannya menutupi wajahnya. Feby menangis. Rosa pun begitu. Mana ada ibu yang tahan melihat putrinya menderita. Rosa merasa gagal, gagal menjadi orangtua yang baik. Yang bisa menegur kesalahan anaknya. Yang bisa mengawasi pergaulan anaknya. Pasti tidak akan terjadi seperti ini. Tapi inilah takdir Tuhan. Semua rencana sudah diatur oleh-Nya.

"Maafkan ayah, maaf." Antony mengeluarkan suara, namun terdengar bergetar.

Tak kuasa, akhirnya Rosa mendekap Feby dengan sangat erat. Mereka menumpahkan rasa sedihnya menjadi satu. Feby memeluk ibunya, rasa menyesal dan kecewa menjadi satu. Sungguh, saat itu rasanya Feby ingin mati saja.

Tidak ada gunanya ia hidup. Tidak ada gunanya angan yang ia buat. Tidak ada gunanya!

Ia kehilangan kemampuan indra pendengarnya. Kehilangan rasa percaya dirinya. Kehilangan harapan hidupnya.

"Semua akan baik-baik saja." Rosa berbisik entah pada siapa. Sejujurnya ia tidak bisa memastikan ucapannya itu. Perkataannya barusan, semata-mata hanya untuk menyemangati dirinya sendiri. Feby tentu saja tidak bisa mendengar. Antony menunduk lemas, tidak bisa berbuat banyak.

Tapi keyakinannya muncul entah darimana. Ia yakin semua akan baik-baik saja.

◊◊◊

Hari pertama Feby duduk di tingkat atas pendidikan. Namun perasaanya tidak sama dengan anak sebaya lainnya. Ia sedih dan kecewa. Hari pertamanya home schooling. Tentu saja membawa pengaruh tersendiri bagi Feby. Tapi ia masih bersyukur tidak mendekam di sekolah luar biasa.

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang