21:: Wasted

113 17 10
                                    

Feby berjalan cepat menuju kelas Ezra. Hanya mengungkapkan 'gue suka sama lo' sangat sulit dilakukan Feby. Berkali-kali usaha itu gagal dilakukannya akibat Ezra yang selalu mengabaikannya. Entahlah, hal yang terus terulang seperti pertama kali ponsel berdering.

Ezra tengah mengetikkan pesan untuk Fulan dengan cepat. Berdiri di depan kelasnya yang sudah kosong tanpa menyadari sosok yang tengah memandanginya sambil berjalan.

"E-Ezra!" panggilnya. Ezra menoleh dan mendapati Feby di sebelahnya. Ezra menyunggingkan senyum dan menyadari bahwa belum sempat ia melepas rindu dengan perempuan yang selalu ia cari. Tidak sempat bertegur sapa bahkan memikirkannya seperti dulu. Ezra selalu lupa, dan tiba-tiba saja teringat ketika dirinya sedang sendiri di taman.

Di taman pun Feby melihat Ezra namun dirinya enggan, dan memutuskan untuk tidak menjamah tempat itu lagi.

"Eh–" Ezra dengan cepat mengangkat panggilan Fulan. Gadis itu sudah siap menjadi supir pribadi Ezra, ia menganggapnya begitu. Ezra tidak tahu kapan Fulan akan kembali ke Hong Kong.

Feby melihat Ezra yang tengah berdialog dan lagi-lagi pergi meninggalkannya.

Bug!

"So-sorry sorry! Gue nggak ngeliat lo tadi!" Arfan yang memang sedang sibuk dengan lembaran kertas yang diterimanya dari Petra, tidak sengaja menabrak Feby yang juga menunduk menutupi kesedihan yang tiada berujung.

Arfan memandang Feby yang lambat laun mendongak. "Eh lo Feby 'kan? Eh lo nangis?" Arfan menunjukkan ekspresi yang sulit dibaca Feby. Gadis itu menghapus air matanya dan mengangguk menjawab pertanyaan pertama dari Arfan.

"Um, ya udah ini gue mau ngasih pengumuman." Arfan menyodorkan selembar kertas pada Feby. "Ini yang berminat aja."

Feby membaca tawaran kelas musik yang tertera pada pengumuman itu. "Gue ikut."

◊◊◊

I wish I could've made you stay

And I'm the only one to blame

I know that it's a little too late

This is everything I didn't say

Feby sangat tertarik dengan kelas musik. Inilah yang ia tunggu-tunggu menyaluran tiap emosinya pada lagu. Keinginannya sudah terlunasi. Tepukan mulai terdengar setelah ia selesai memainkan lagu dengan alunan piano. Banyak yang tidak menyangka jika dirinya memiliki suara yang merdu juga kemampuan musik yang baik.

Sedetik kemudian, pintu terbuka disusul kemunculan 2 siswa yang sangat ia kenal. Mata mereka terkunci hingga beberapa saat sampai temannya menyuruhnya untuk duduk. "Maaf, kami telat." Arfan dengan santai duduk di salah satu kursi yang diikuti oleh Ezra. Kecepatan detak jantungnya kini mulai meningkat dan dengan susah payah Feby atur.

"Dibagi kelompok sepasang. Sudah di undi dan hasilnya adalah.." Perempuan yang memiliki rambut sebahu itu mengambil kertas dari mejanya. Nama 'Brenda' tercetak jelas di atas sakunya sebagai tanda pengenal.

"Chelsea dan Gentar, Delvino dan Bunga, Hasna dan Jovian, Arfan dan Mutiara, Ezra dan Feby.."

Feby seketika tidak mendengar kelompok lainnya. Namanya sudah disebut, tapi sayangnya seketika pula ia membenci musik. Debaran jantungnya kian menggila, tanpa izin terlebih dahulu, Feby meninggalkan kelas musik.

Feby berlari, kemudian masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi. Dia mengusap wajahnya berkali-kali. Ezra dan Feby, kalimat itu terus berputar di kepalanya tak mau berhenti. Pedengarannya tidak salah dan sudah sangat sering pendengarannya dirasa merugikan.

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang