1:: Mencari Kebenaran

573 55 67
                                    

Perempuan itu terkulai lemah di atas brankar yang bergerak cepat memasuki sebuah ruangan. Kedua pelupuk matanya terpejam, luka di bagian tubuhnya menjadi saksi kejadian mengenaskan itu.

Kesunyian malam yang seharusnya menenangkan justru membuat hati Rosa gelisah. Melihat putri kesayangannya terbaring lemah juga Antony suaminya yang juga belum siuman. Ia harus menahan beban kesedihannya seorang diri.

Bibirnya terus berucap doa kepada Tuhan. Sebenarnya firasat buruk memang sudah mengusiknya, sampai sebuah dering telpon yang ternyata diberitahukan oleh dokter bahwa kecelakaan terjadi. Dengan kaki yang terlalu lemas, Rosa menghampiri dokter dan bertanya keadaan suaminya.

"Suami anda sudah sadar, lukanya juga tidak terlalu parah." Rosa menghela napas lega mendengarnya. Namun hanya sedikit beban yang menghilang di punggungnya. Sementara Rosa mengucap syukur dan bertanya apakah Antony bisa ia jenguk.

Wanita yang memakai jas putih tersebut mengangguk ramah seraya berlalu meninggalkan Rosa. Namun, Rosa masih terus diam di tempat, sebelum akhirnya ia melangkah.

Rosa mendorong pintu kayu itu dengan gemetar. Senyum merekah di wajahnya yang pucat dihiasi air mata. Perlahan pula Antony tersenyum yang mengartikan permohonan maaf. Ia tahu pastilah istrinya khawatir akan keadaan Feby dan dirinya.

Seketika rasa bersalah menggerogotinya. Antony sangat ingat kejadian yang dialaminya beberapa jam yang lalu, sorot kesedihan terpancar jelas dalam matanya. "Fe-by?" Kata itu yang terucap oleh Antony, tidak sempat menyapa bahkan bertanya keadaan Rosa sekalipun.

Rosa tersenyum yang bermakna dalam. Ia tidak tahu pasti keadaan putrinya itu. Hanya berharap Tuhan mengabulkan do'a seraya terus melindungi putrinya. "Rosa, maafkan aku yang tidak bisa menjaga Feby dengan baik." Rosa menggeleng berusaha tegar, "Itu bukan salahmu, mungkin Tuhan punya rencana lain. Aku, di sini akan selalu berdo'a yang terbaik."

Antony menggenggam erat tangan istrinya berusaha menghilangkan setidaknya rasa takut juga beban yang menimpa. "Aku akan ada di sampingmu selalu."

Hentakan langkah dokter mendekati Rosa yang tengah terduduk merenung. "Maaf mengganggu, anak anda sudah bisa dijenguk."

Hati kecilnya menjerit. Namun tenaganya sudah hampir habis untuk sekedar menangis penuh haru. Ia mengintip dari balik pintu yang memperlihatkan keadaan Feby. Mata dan kepalanya tertutup oleh perban, ia tidak tahu apakah benar Feby sadar atau sedang tertidur.

Tapi kemudian langkahnya terhenti, dirasanya Feby butuh istirahat. Rosa kembali menutup pintu kayu itu dan duduk kembali. Setidaknya keadaannya sudah membaik. Dokter mendatanginya, administrasi harus dilakukan sekarang jikalau pasien akan pindah kamar.

"Mom?"

Panggilan seseorang bersuara berat yang ditujukan untuknya. Rosa menoleh, Geofany merentangkan tangannya mengundang pelukan hangat. "Ada aku mom," Rosa memecahkan tangisannya lagi. Ternyata ia tak sendiri, putra sulungnya baru saja pulang dari Singapura. Mungkin niat awalnya adalah untuk menemani Feby prom SMP-nya itu, tapi Tuhan berkata lain.

"F-Feby, Ge!" Rosa mengusap wajahnya menghapus sisa air mata. Geofany menatap ibundanya lekat, ada rasa iba dan takut saat ia menatap Rosa. Ia bingung mengapa kejadian ini bisa terjadi, apakah ada pertengkaran lagi antara adik dengan ayahnya. Ataukah memang kecelakaan murni terjadi.

"Feby kenapa mom?" Ia memberanikan diri bertanya. Entah ia kuat mendengarkan atau tidak. "Dia selamat kan? Dia nggak amnesia kan?" Dadanya naik turun penuh emosi, matanya mulai memanas tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?

Secara tiba-tiba, datanglah seorang suster dan memberitahukan bahwa pemindahan pasien selesai dilakukan. "Sekarang, mom aku antar pulang ya? Biar aku yang jaga Feby sama Dad." Ia kembali melembutkan ucapannya. Mungkin tadi ia hanya tersulut emosi, sudah tahu kondisi ibunya yang benar-benar drop tapi ia bukannya menghibur malah membuatnya bersedih.

"Nggak, mom masih ingin di sini. Kalau mom ke rumah, nanti mom tambah takut." Geo tersenyum tipis penuh makna, ia tidak tega melihat kondisi ibunya seperti itu. "Ya udah, aku temenin mom di rumah." Ia mengusap punggung Rosa, berharap ibunya mau untuk pulang karena malam yang sudah semakin larut.

Rosa tidak punya pilihan, ia akhirnya menuruti perkataan putranya. Mungkin, tidak ada gunanya juga terus di rumah sakit. Yang ada justru menyakitkan dirinya sendiri. Di rumah mungkin, bisa membuat dirinya tenang dan beristirahat. Karena mungkin juga, besok tenaganya akan dibutuhkan.

Dan hati Geofany masih belum bisa tenang. Setelah menunggu ibunya tertidur, ia kembali meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Sebenarnya rasa ingin tahunya tentang keadaan Feby dan ayahnya masih memuncak, tapi untuk saat ini ia lebih memilih mencari tahu penyebab kecelakaan.

Meski polisi tengah menangani masalah ini, tapi tidak ada salahnya 'kan jika ia ingin membantu. Tepat setelah tikungan, ia membelokan mobilnya menuju gerbang kepolisian. Tanpa berlama-lama, ia langsung memasuki gedung tersebut. "Selamat malam," ia menjabat tangan salah satu polisi yang sedang bertugas.

"Selamat malam, ada yang bisa kami bantu?" Suara tegas dari polisi tersebut membuat rasa penasarannya muncul kembali. "Begini, saya mau bertanya kronologis kecelakaan di Jalan Utama Kemayoran yang menimpa keluarga saya." Ia sebenarnya agak ragu dengan kalimatnya, selama ini belum ada kecelakaan yang menimpa keluarganya. Polisi itu mengangguk-anggukan kepalanya seraya mencari berkas. "Menurut saksi mata, kecelakaan itu merupakan tabrak lari."

Napasnya tercekat, dadanya kembali sesak. Bagaimana bisa ada tabrak lari? Apakah keluarganya di teror? Sungguh, ia akan mencari siapa pelaku tabrak lari itu. "Karena kejadian yang sangat cepat dan juga suasana yang sedikit gelap, saksi hanya bisa menyimpulkan motif kecelakaan adalah tabrak lari. Kami minta maaf, akan kami selesaikan masalah ini secepatnya."

___

Ok tau ini pendek, votenya jan lupa!

Serenity [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang