Lagya
Terbangun di kamar yang asing dengan kepala berdentum-dentum dan jantung berdebar bukanlah sebuah gambaran bangun pagi yang menyenangkan. Rasa ketakutan akan apa yang mungkin terjadi semalam menyingkirkan sinar mentari dan menggantikannya menjadi mendung gelayut dalam pikiran. Itulah yang saat ini kurasakan. Bangun entah jam berapa, entah di mana, dan entah bagaimana tubuhku diselimuti kain yang begitu halus dan wangi. Bahkan mengumpulkan kesadaran hingga penuh pun menjadi satu bentuk perjuangan untukku.
"Oh, kau sudah bangun rupanya," suara maskulin yang jelas membuatku shock. Aku, terbangun di kamar yang asing, dengan seorang pria. Rasanya hancurlah seluruh cita-citaku untuk tetap perawan. Bagaimana mungkin aku bisa ada di sini??? Aku bahkan tidak punya sedikit pun tenaga untuk menyuarakan sesuatu. "Aku tidak tahu di mana kau tinggal dan kau pingsan semalaman. Aku tidak yakin kalau kau pernah minum alkohol sebelumnya. Tapi aku tak punya pilihan lain selain membawamu ke tempat yang paling aku kenal."
Aku masih tidak berani mengangkat wajah, membuka suara, atau melakukan sesuatu. Selain kesadaran, keberanian pun wajib kukumpulkan untuk menghadapi kenyataan ini. Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya, tapi pikiranku pun bahkan belum jernih. Gambar yang ada di kepalaku hanyalah potongan-potongan saja. Tidak jelas. Belum waktunya mengambil keputusan. "Apa yang terjadi?" akhirnya aku berani menyuarakan sesuatu dari mulutku yang masih asam dan pahit gegara jejak minuman yang tak semestinya kuminum.
"Oh, ok. Terima kasih kembali." jawab lelaki itu penuh percaya diri. "Mungkin mandi akan membantumu mengumpulkan ingatan jangka pendekmu. Ada pakaian ganti di kamar mandi dan pakaianmu semalam sudah aman ada di laundry." dan lelaki itu pun pergi. Meninggalkanku dengan segenap rasa sesal dan takut yang tak berujung.
Di dalam kamar mandi aku benar-benar memanfaatkan waktu. Sekolah kedokteran membuatku tahu betul bagaimana kondisi organ-organ tubuh, termasuk bagaimana semestinya perempuan setelah berhubungan badan. Dengan penuh rasa khawatir aku benar-benar mencermati rasa yang timbul di antara kedua kakiku. Dan setelah memastikan bahwa tidak ada rasa nyeri, luka luar, atau kerusakan-kerusakan lainnya, aku menghembuskan nafas sangat lega. Mungkin laki-laki tadi memang bukan orang kurang ajar.
Selesai mandi, sudah ada nampan dengan beberapa mangkuk berisi sayur dan lauk. Tidak cocok untuk sarapan, tapi memang belum waktunya makan siang. Meskipun kepalaku begitu pening, tapi harus kuakui kalau aku juga sangat lapar. Langsung saja aku berprasangka baik kalau makanan itu memang untukku dan menikmatinya.
Milo
Perempuan itu benar-benar aneh. Dia sama sekali tidak histeris atau bereaksi berlebihan dengan keadaannya yang terbangun di ranjang orang asing. Atau memang dia sudah terbiasa terbangun di ranjang orang lain? Ah, tapi itu bukan urusanku. Yang penting siang ini dia harus segera keluar dari kamarku. Aku tak ingin sesuatu yang tidak begitu penting menghalangiku. Ah, memikirkan itu membuatku lapar.
Namun ternyata sarapan yang terlambat pun bukan jadi milikku. Nampan yang sudah disiapkan di atas meja sedang dinikmati orang asing yang dengan penuh nafsu melahap semua yang ada di atasnya, dengan wajah foodgasm yang dibingkai handuk putih kesayanganku di rambutnya. Mungkin aku hanya terlalu lapar untuk marah, tapi di luar kendaliku, aku raih lengan perempuan itu dan kuseret ia menjauh dari meja yang semula penuh dengan makananku. Aku tak peduli apa pendapatnya nanti, aku cuma lapar.
"Hei," teriaknya seolah ingin protes. Aku langsung gantikan tempatnya dan menikmati sisa dari makanan yang semestinya milikku demi mengobati lapar yang mendera. Selesai makan, aku meninggalkannya. Terserah dia mau pergi kapan.
"Aku harus pergi. Aku akan pulang mendekati malam, aku berharap saat itu kau tak ada di sini."
"Hei," panggilnya ketika aku sudah meraih pegangan pintu. "Siapa namamu? Atau bagaimana bisa aku berterima kasih?"
"Kau pergi dari sini sudah cukup" jawabku pendek dan lantas ku berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda
RomanceCerita tentang hubungan seorang mahasiswi dengan supervisor riset doktoralnya yang berkembang menjadi sebuah hubungan yang berbeda. Profesor yang tampan namun dingin ini ternyata cukup egois dan punya cara yang unik untuk mengenali dan mengenalkan p...