Topeng

57 10 0
                                    

Milo

Bibir Lagya lembut. Dan pasrah. Tapi diam, tidak membalas, atau menolak. Dia hanya diam. Lalu bibir bawahnya bergerak, sedikit, membuatku mencicipi. Lagya begitu polos. Dan kenyataan itulah yang memukul kepalaku. Lalu aku berbisik, "Ikuti saja. Lalu ikuti aku". 

"Miss you so," ujarku. Aku berusaha agar Kay yang berdiri tak jauh dari Lagya juga mendengarnya. Mungkin kini Elly juga dengar karena tampaknya dia melangkah menuju arah yang sama denganku tadi. Dan kugandeng Lagya menuju tempat parkir agar muka tercengangnya tak segera dikenali orang lain.  

"Kau tak menyapa sekretarismu? Dia sudah begitu patuh menjemputmu kemari," ujar Lagya pelan. Sepertinya ia mendalami perannya saat ini. Lalu aku menghampiri Elly, bicara sekadarnya sekaligus berpamitan pulang, dan segera kembali kepada Lagya. 

"Jadi apa lagi ini, Profesor?" tanya Lagya. Aku bahkan belum selesai menghela nafas ketika kami masuk mobil. Aku menoleh memandangnya seketika menghentikan upayaku memasang sabuk pengaman.

"Apa kau tak memberiku kesempatan untuk istirahat dulu?" lalu Lagya hanya diam. 

Kami kembali ke apartemenku. Lagya masih mengikutiku, mungkin ia mencari kesempatan yang tepat untuk menamparku sekaligus minta penjelasanku. "Ok, apa yang ingin kau tahu?"

"Semua. Mulai dari masa bimbinganku yang tiba-tiba 'habis', paperku yang tiba-tiba publish, lalu rekomendasi penguji yang di luar rencana, lalu alasan semua pesan dan teleponku tidak dijawab, dan kejadian tadi. Prof Park, hutang penjelasanmu banyak sekali." 

Lagya yang marah tampak berbeda dari biasanya. Dia seperti terbakar. Aku suka melihatnya bersemangat seperti ini. Aku jadi tahu kenapa Andrew menitipkannya padaku. Andrew tahu aku mampu men-challenge orang sampai pada kemampuan optimalnya, atau bahkan lebih. Dan Andrew melihat anak didiknya bisa jadi orang yang sangat brilian dengan bimbinganku. Aku bisa melihatnya. 

"Tidak, aku hanya berhutang satu penjelasan. Semuanya kulakukan untuk mendukung sandiwaraku."

Lagya menampilkan ekspresi yang aneh, tapi entah mengapa jadi kelihatan lebih menarik. Keningnya berkerut, alis matanya naik turun, dan bibirnya setengah terbuka. Bibirnya. Yang tadi kucicipi, berkelebat selintas di benakku. Rasanya ingin... mengulanginya? Lagi?

"Prof Park? Prof Park?" Lagya melambaikan tangannya di depan wajahku yang mungkin tampak melamun. Padahal aku sedang menikmati bayangan selintas ciuman kami tadi.

"Aku lihat," jawabku ketus. Menjaga harga diriku. "Aku bilang pada Kay kalau kau calon istriku, semuanya kulakukan untuk mendukung hal itu." 

"Mengapa harus aku korbannya?" tanya Lagya agak histeris. Aku terkejut. Dengan otak secerdas dia, semestinya ia tidak menjerit seperti itu.  

"You're happened to be around me, that's your luck," katanya. "Kay tahu betul etika akademis karena ia juga pernah sekolah pascasarjana. Kalau aku masih menjadi co-supervisor-mu dan mengujimu, dia bisa melaporkan adanya conflict of interest. Jadi aku rekomendasikan orang lain untuk mengujimu. Aku yakin Andrew sudah bilang padamu karena dia orang pertama yang aku beri tahu."

"Ya, dan aku takkan histeris seperti orang gila begini kalau aku belum tahu," ujar Lagya kuyu. Dia tak lagi 'mengerikan' seperti tadi. Tapi perubahan itu tak membuatku surut. Aku malah ingin memeluknya. Menenangkannya. Meyakinkannya kalau aku akan tetap selalu ada. Entah bagaimana aku menjadi sentimental seperti ini. Seperti bukan aku. Seperti bukan aku yang aku bangun sebagai topengku. 

Lagya

Prof Park sangat egois, pikirku. Apa yang dipikirkan Milo Park hanya berujung pangkal pada dirinya sendiri. Aku akhirnya sadar kalau aku terseret semakin jauh ke dalam pusaran permasalahan pribadi Milo Park, dan ini bisa mengancam masa depan kuliahku. Harus ganti penguji dan menyelesaikan paper yang tersisa sendirian. Ganti penguji berarti harus membangun komunikasi lagi. 

Tiba-tiba saja aku merasakan hal yang aneh di bawah kulitku. Rasa merinding, dingin, dan perasaan aneh lain yang belum pernah kurasakan. Tiba-tiba saja berkelebat bayangan berciuman dengan Milo Park. Tidak. Kami tidak berciuman. Milo Park-lah yang menciumku. Menciumku dengan semena-mena. Tanpa sadar, jemariku meraba bibirku. 

"Kenapa?" Aku terhenyak dengan suara Milo yang tiba-tiba. Cepat-cepat kuturunkan tanganku. "Kau belum pernah dicium ya?" Katanya asal. Aku salah tingkah. Aku benci harus membicarakan ciuman dengan mantan co-supervisor-ku.

"Aku pulang. Masih banyak yang harus kubereskan dengan semua perubahan ini." Dan aku beranjak tanpa peduli apapun di belakangku. 

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang