Indah

54 11 0
                                    

Lagya

Sepulang dari Bali, kami kembali pada kesibukan kami masing-masing. Aku tetap mengajar dan meneliti, begitu pula dengan Milo. Tidak ada yang berbeda. Kadang-kadang saja aku menginap di apartemen Milo, bekerja dengannya di rumah perpustakaannya, atau kami keluar makan bersama. Awalnya memang aneh, kami seperti tidak punya hubungan apa-apa selain kolega. Tapi tampaknya Milo lebih nyaman begini. Tidak banyak yang tahu kalau kami dekat, bahkan tidak sekretarisnya. Perlakuannya padaku masih sama seperti dulu waktu aku harus konsultasi untuk disertasiku. Sekarang aku sudah bisa menerimanya. Semakin sedikit orang tahu, semakin sedikit masalah yang timbul.

Hari ini Milo mengajakku makan di rumahnya. Dia tampak bersemangat meskipun sudah berusaha memasang tampang "dingin"-nya. Dia bilang akan ada makanan spesial hari ini, tidak seperti biasanya, tapi dia tak bilang ada apa. Aku menurut saja.

Sekitar pukul 4 sore aku sudah sampai di rumahnya, tapi Milo masih di kampus. Aku lihat rumah juga biasa saja, mungkin Milo saja yang akan membuat suasana berbeda. Aku langsung ke area kerja, tempat di mana kami paling banyak menghabiskan waktu bersama. Aku duduk di meja kerjanya dan melihat apa saja yang ada di sana. Milo tidak suka ada yang merubah apapun di mejanya, jadi aku tak merubah apapun, bahkan tidak menggeser satu kertas pun. Lalu mataku tertumbuk pada tablet yang terletak di sisi kanan meja. Setahuku Milo tak pernah meninggalkan barang-barangnya. Lalu kuraih tablet itu dan membukanya.

Aku melihat foto-foto di dalamnya, beberapa gambar yang aku kenal. Orang-orang yang kukenal pula. Tampaknya ini foto ketika konferensi di beberapa negara. Lalu ada foto Milo sedang menggendong bayi dengan seorang perempuan. Bukan, bukan Kalyana, aku masih ingat wajahnya. Perempuan ini mungil dan cantik, bayinya juga cantik. Mereka tampak bahagia berdua. Dan tiba-tiba aku merasa sakit. Sakit sekali. Dan kutinggalkan tempat itu segera. Ternyata sakit melihat Milo Park bersama perempuan lain. 

Milo

Aku lupa kalau sore ini adikku datang. Aku harus menjemputnya di Bandara karena tidak sanggup membayangkan kerepotan adikku sendirian dengan bayi dan segala perlengkapannya. Belum lagi koper dan tasnya karena ia akan menginap dalam waktu cukup lama. Aku juga bingung dengan janjiku pada Lagya. Mungkin saja ia sudah di rumah saat ini. Aku semakin senewen ketika aku bahkan tak bisa menghubunginya.

Aku bersyukur bisa menyambut adikku datang, membantunya dengan barang-barang, dan menggendong keponakanku yang kini sudah lebih besar.

"Kak, aku kangen," kata adikku sambil menangis bahagia. Aku juga merindukannya. Ia satu-satunya keluargaku setelah ibuku meninggal. Ponakanku tampak damai tertidur di pelukan Ibunya. Akan ada anak kecil di rumahku untuk sementara ini. Kuharap Lagya takkan terkejut.

Sudah hampir jam 7 tapi rumahku masih ramai dengan tangis Ferio, ponakanku. Lelaki kecil ini masih beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia berusaha mengendalikanku sebagai pamannya dengan cara yang sangat merepotkan. Dia belum bisa  menyadari bahwa aku sendiri gelisah menantikan kekasihku.

Sampai tengah malam aku masih gelisah karena tidak bisa menghubunginya. Lagya tidak pernah seperti ini. Meskipun marah, Lagya selalu mengangkat telpon dan membalas pesan singkat. Aku semakin khawatir.

Aku parkir mobilku di depan rumah Lagya. Sudah gelap. Mestinya ia juga sudah tidur. Entah apa yang merasukiku, tapi aku tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu dan mengetuk.

Lagya

Aku gelisah, tak kunjung tertidur meski malam hampir lewat. Aku masih memikirkan siapa perempuan dan bayi dalam pelukan Milo yang kulihat foto itu. Apa mungkin memang ia punya masa lalu yang tak kuketahui? Atau aku hanya selingan untuknya? Rasanya Milo bukan lelaki yang suka selingan. Tapi Kay bilang Milo pernah seperti ini, berlindung pada wanita sebagai perisainya, apakah ibu bayi itu juga perisai untuk Milo? Apakah ia serendah itu sebagai lelaki? Dan apakah kini aku percaya kata- kata Kay?

Aku masih terus memikirkan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Tentang sikap Milo yang membuatku bahagia, sikapnya yang posesif, dan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Foto itu mungkin saja keluarganya, atau fans, atau memang pasangannya. Entah mengapa aku merasa gusar, merasa marah, namun juga sedih. Aku sudah jadi tidak rasional. Aku menyedihkan. Dan sebenarnya aku takkan pernah tahu kebenaran dalam foto itu jika aku tak bertanya. Lalu tiba-tiba saja kudengar ketukan di pintu depan. Kulirik jam dinding dan aku sadar bahwa ini sudah lewat tengah malam. Jadi mungkin saja yang mengetuk pintu dalam situasi darurat, atau orang tak waras yang nekat bertamu tengah malam. Saat kubuka pintu, aku tahu bahwa tamuku bukan termasuk salah satu kriteria itu.

"Milo, ini jam berapa?" Keluhku setelah melihatnya di depan pintu.

"Kau aneh hari ini, kau bahkan melewatkan janjimu untuk makan denganku," jawabnya.

"Itu bisa kita bicarakan saat hari terang, kan." Aku masih tetap di depan pintu menghalanginya masuk.

"Ini tidak bisa menunggu, kau menyiksaku," timpalnya. Lalu ia menarikku keluar dan mengajakku bicara entah di mana selain di tempat ini.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang