Pertemuan kedua

121 15 0
                                    

Milo

Sore ini aku kedatangan tamu penting, salah satu kawanku sekolah doktoral dulu. Usianya beberapa tahun lebih tua dariku dan anak-anaknya sudah besar. Ia dan keluarganya akan berlibur di sini dan mereka menyempatkan untuk menjengukku. Dan lagi temanku mengatakan ingin menitipkan salah satu kandidat PhD-nya untuk kubimbing sementara ia berlibur. 

Kadang melihat keluarga itu, aku jadi ingin menikah. Memiliki istri dan anak-anak, senyum dan keributan yang akan menyambutku setiap kali aku pulang. Mungkin juga aku akan punya rumah, bukan apartemen besar seperti yang kutinggali sekarang . Mungkin istriku akan membuatkanku minuman panas selagi aku menyelesaikan beberapa paper atau menganalisis data. Atau mungkin istriku bisa jadi rekan diskusi yang cukup garang. Dan kami bisa mengakhirinya dengan bercinta. 

Bercinta. Ya, hanya itu yang ada di pikiranku sekarang. Mestinya sangat normal untuk seorang lelaki sepertiku. Aku memang hidup selibat. Sangat mengerikan untukku membayangkan menikmati sebuah lorong yang pernah basah oleh sperma orang lain. Dan lebih mengerikan lagi ketika melihat konsekuensi bahwa mungkin saja aku tertular sebuah penyakit memalukan atau mematikan, atau terpaksa membunuh calon makhluk hidup hanya akibat nafsu semata. Jadi kurasa, ini waktunya mencucurkan keringat dan membuat diriku sendiri lelah. 

Sepulang jogging sebenarnya aku sadar kalau ada banyak sekali email dan panggilan tak terjawab. Tapi tubuhku yang begitu lelah butuh mandi dan tidur, dan itulah yang akan aku lakukan.

Pagi hari tidak pernah terasa sepenat ini, meskipun pernah semalaman aku tidak tidur untuk menulis. Tapi pagi ini sangat berbeda. Aku terbangun oleh suara alarm yang sebenarnya kupilih sendiri, tapi kali ini suaranya seperti mengetuk dinding tengkorakku dalam irama yang mengganggu. Namun setelah kuperhatikan, ketukan itu tidak hanya ada di dalam kepalaku. Ketukan itu juga ada di balik pintu apartemenku. 

Lagya

Setelah dua kali turun lift dan bertanya pada dua orang security yang berbeda, aku yakin bahwa memang ini adalah tempat yang dimaksud. Pembimbing disertasiku memintaku untuk berkonsultasi dengan seorang temannya. Pembimbingku bilang kalau orang inilah yang mestinya bisa memberiku jalan keluar. Dia punya cukup pengalaman meskipun masih cukup muda. Dan alamat itu adalah tempatku tempo hari ditolong setelah mabuk. Kupikir pertemuan memalukan itu tidak akan terulang. 

Pintu pun terbuka. Pria yang kemarin juga yang membuka. Ia terdiam memandangku yang mungkin berekspresi aneh. Takut, malu, bingung. Memang itu yang kurasakan. Dan sudah pasti tergambar jelas di raut wajahku. 

"Ada barangmu yang tertinggal?" sapanya. Dingin. Serius. Dan enggan. Kalau saja aku tidak sedang ketakutan, aku pasti akan menyebutnya tampan. Atau sexy. Atau keduanya. Atau keduanya ditambah efek potensiasi satu sama lain. Wajahnya agak memanjang, kulitnya bersih dengan rambut hitam yang berantakan. Bibirnya agak mengumpul, tapi warnanya merah sehat, bukan hiperemis seperti orang demam. Ya, dalam kondisi normal, dia ini tampan. Tapi saat ini kondisi tidak normal. Aku tidak ingin terbawa suasana. Aku benar-benar ketakutan dan tidak bisa mentolerir kesalahan.

"Profesor Milo Park?" tanyaku akhirnya bersuara. Dan dari ekspresinya, tampak sekali kalau ia kecewa. Mungkin dia tahu apa maksudku yang sebenarnya. Dan itu berarti kami akan sering bertemu lagi.

Milo Park adalah kawan baik pembimbingku. Beliau selalu memuji lelaki satu ini sebagai ilmuwan muda yang brilian. Pemikirannya tidak biasa, tapi selalu menjanjikan sesuatu yang segar. Pembimbingku selalu bilang kalau pria satu ini sangat pemilih untuk urusan bimbingan riset, apalagi disertasi. Jadi aku harus bersikap baik. Tapi sepertinya kesempatanku sudah pupus. Pupus ketika aku terbangun di ranjangnya dan menyantap sarapannya. Entah bagaimana nasibku sekarang. 

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang