Rollercoaster

64 14 0
                                    

Lagya

Aku datang ke perpustakaan dengan ceria dan kini aku keluar dengan perasaan tidak keruan. Milo selalu berbuat seenaknya. Kay juga berbuat semaunya. Mengirimkan teror kepadaku melalui pesan-pesan tak bermutu. Mengganggu waktuku dan membuatku memikirkan Milo. Orang yang membuat hidupku akhir-akhir ini seperti wahana pemacu adrenalin. Milo ingin mengantarku tapi kutolak, tidak perlu lagi memperpanjang masalah dengan keluar berdua dengannya. Hal ini sangat membuatku kacau. 

Dan semakin kacaulah hidupku ketika sebuah suara memanggil namaku. Suaranya tak asing, dan jujur aku tak siap mendengarnya. 

"Gia, Gia kan?" seru suara itu mendekat. Aku berbalik. Terdiam hampir tak percaya aku diberi kesempatan bertemu dia lagi. Dan aku sangat tak berharap ini terjadi. 

"Deano, ya ini aku," jawabku. Berusaha menyembunyikan keterkejutanku. Aku sungguh tak mengharapkan ini. Apalagi di tengah hal-hal tak jelas yang sedang terjadi di hidupku. "Kapan kembali?" 

"Sambil duduk yuk," ajaknya sambil meraih tanganku. Yang mestinya tidak ia lakukan. Apapun yang terjadi di masa lalu, semuanya masa lalu. Lebih tak enak lagi, aku selintas melihat Milo berdiri di depan pintu perpustakaan dan melihat kami melangkah. Entah kenapa aku jadi merasa seperti menipunya. 

Deano adalah kakak kelasku, hanya setahun lebih tinggi. Ada beberapa mata kuliah yang dulu kami ambil bersama, membuat kami sering berinteraksi. Seperti biasanya kisah cinta masa kuliah, akan tumbuh seiring kebersamaan dan sepenanggungan dalam mengerjakan tugas. Itu juga yang pernah terjadi padaku. Kami begitu dekat, membuatku berani menyatakan cinta. Ia bilang ia suka jadi sahabatku, tapi dia juga memperlakukanku seperti kekasih. Sementara ia belum bertemu siapa pun. 

Lalu ia bertemu dengan satu, dua, atau tiga perempuan yang ia suka. Aku masih tetap di sana, menunggunya sadar bahwa hanya ada aku untuknya. Tapi sikap naif itu ternyata lebih condong pada bodoh, hingga aku lelah. Pelan aku meninggalkannya pada saat yang sama ia ditinggalkan perempuan yang ia pikir mencintainya. Ia kembali mengejarku, berdalih mengembalikan persahabatan kami. Tapi bagiku semuanya sudah menjadi sesuatu yang hampa. Aku pergi. 

"Kupikir kau sudah tak kembali lagi ke sini," kataku setelah tenggorokanku disiram jeruk manis dingin. Denyut jantungku mulai teratur dengan jarak yang sehat, aku pun sudah tidak gemetar. 

"Aku pasti kembali, aku ingin berkarya di sini. Cita-citaku masih sama. Oh ya, kau defense ya bulan ini?" kata Deano antusias. Hal ini juga yang selalu kusuka, dia selalu bersemangat untuk berprestasi. 

"Bulan depan," jawabku sambil menggeleng. 

"Aku pasti datang kalau kau mengundangku, beberapa kawanku juga datang mengujimu tampaknya. Oh ya, aku diminta untuk bertemu salah satu profesor di sini, katanya orangnya agak eksentrik. Mungkin kau tahu di mana harus bertemu dengan Prof Milo Park?" 

Dan lengkaplah penderitaanku kali ini. Bahkan pertemuanku dengan Deano pun harus diwarnai dengan nama Milo Park. Tidak cukupkah ia menyebabkan kesialan dalam hidupku???

"Nanti akan kutunjukkan gedungnya dan kukenalkan dengan sekretarisnya. Prof Milo Park lumayan sibuk akhir-akhir ini." 

"Kudengar ia juga menguji untuk defense-mu, ya. Prof Andrew bilang begitu waktu kami bertemu di Amsterdam dua bulan lalu," Hmmm, ternyata ini yang membuat Deano bersemangat bertemu denganku. Dia masih oportunis. Just like old time

"Tidak, dia tidak jadi mengujiku. Prof Nilsen menggantikannya. Seperti aku bilang tadi, dia sibuk akhir-akhir ini," jawabku sekenanya. Aku hanya dimanfaatkan. 

"Aku luang kok, jika temanmu membutuhkanku," dan suara berat itu mengagetkanku untuk kesekian kalinya. Mendengung berwibawa dari balik punggungku dan seolah membuat cuaca menjadi mendung. Tubuh tingginya menghalangi sinar matahari ke arahku. "Milo Park," katanya sambil mengangsurkan tangannya ke depan Deano. Karena ia masih di belakangku, jadinya seperti ia akan memelukku dari belakang. Dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang sejuk meniup puncak kepalaku. Milo Park meniup puncak kepalaku ringan. Atau mungkin orang lain akan menganggap Milo Park mengecup kepalaku. Apa sih maunya orang ini???

Aku memandangnya tajam tapi Milo Park tak peduli. Ia mengambil tempat duduk yang masih kosong di meja kecil kami dan memesan sesuatu untuk diminum. Sementara Deano agak terkejut dengan kemesraan itu. Entah mungkin tampak terlalu palsu atau justru terlalu vulgar menurut dia. Entahlah. 

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang