Harapan

124 18 3
                                    

Milo

Aku biarkan Lagya yang memilih tempat makan dan dia tak keberatan. Sunny tampak senang dengan rencana kami makan di luar.

"Aku senang kau punya pacar," ujar Sunny sambil menidurkan Ferio dalam pelukannya.

"Kau tak pernah bilang begitu saat aku pacaran dengan Kay," jawabku. Aku selalu merasa Sunny tak pernah suka pada Kay, ia hanya tak menunjukkannya padaku. Kini kulihat Sunny tersenyum. Dia tampak sangat dewasa.

"Aku tak pernah bilang begitu karena memang begitu perasaanku." Kami lalu terdiam, seolah menekuri lagi kisah cinta lamaku dari sudut pandang kami masing-masing. "Kalyana memang mencintaimu, tapi ia mencintaimu dengan cara seperti yang dia inginkan. Kalyana tidak pernah menerimamu apa adanya."

"Mungkin karena aku tak pernah menunjukkan diriku yang sesungguhnya," jawabku.

"Atau kau tak pernah merasa cukup nyaman untuk menjadi dirimu sendiri di hadapannya. Kalyana mencintai versi dirimu yang ada dalam benaknya, bukan dirimu yang sebenarnya."

Yah, Sunny mungkin benar. Aku juga tak pernah jujur seperti aku pada Lagya. Untuk Lagya aku hanya tak ingin berpura-pura. Aku lelah, dan topengku membebaniku. Dan seolah Lagya tak pernah keberatan dengan apapun itu.

"Apa Lagya tahu hubungan kalian menuju ke mana?" tanya Sunny. Aku saja tak tahu jawabannya, kupikir Lagya juga tidak. "Mungkin sebaiknya kau pikirkan, aku khawatir kalau Lagya terlanjur punya harapan padamu."

"Kenapa kamu tanyakan itu, Sunny?"

Sunny tersenyum. Ia tampak begitu dewasa dan lebih bijak. "Aku melihat hidupmu yang lebih baik kali ini, dan aku tak mau kau menyia-nyiakan semua ini." Aku yakin kata-kata Sunny tak hanya sebatas ini. Ada makna yang lebih dalam di balik kalimatnya. Mungkin hidupnya yang penuh gelombang telah mengajarkan sesuatu dan membuatnya lebih bijak, bahkan dibandingkan kakaknya sendiri.

"Apa menurutmu Lagya bisa menemaniku berjuang dalam hidup?" tanyaku.

"Hanya kalian berdua yang tahu jawabnya. Aku hanya melihat kau tak pernah tampak lebih baik dibandingkan sekarang, dan kurasa Lagya adalah alasannya."

Aku merenungi apa yang dikatakan Sunny. Aku baru sadar kalau memang banyak hal berubah setelah Lagya. Lagya bisa membuatku menikmati diskusi ilmiah dan ia tak pernah bosan dengan topik-topik yang bahkan bukan bidangnya. Lagya selalu mau belajar dan hal itu membuatku jauh lebih rendah hati. Aku bisa merasakan bahkan seorang profesor sepertiku memiliki hal-hal yang tak pernah kuketahui. Lagya juga tak keberatan dengan pekerjaan hiburan yang jadi sampinganku. Ia tahu bahwa setiap saat aku ada di dunia itu, banyak perempuan cantik tanpa pakaian lengkap di sekitarku, namun ia tak keberatan. Lagya bahkan pernah berujar, "Mereka memang jauh lebih cantik dan sexy dariku, tapi cuma aku yang bisa memberimu kebahagiaan seperti yang kaubutuhkan. Dan aku yakin, kau lebih suka perempuan cerdas daripada mereka." Lagya sangat percaya diri. Tak bisa dielakkan lagi Lagya juga cerdas. Itu membuatnya sexy. Dan di atas semua itu, aku ingin sekali melalui perjalananku yang panjang dengannya. Mungkin tidak mudah, mungkin juga terjal, namun entah mengapa aku merasa yakin kalau perjuanganku ingin kulalui bersama Lagya.

Pemikiran itu mulai menggerakkan hati dan semangatku. Dan di sinilah kami, di ruanganku di perpustakaan yang sudah aku pesan untuk dua jam dan kami sedang duduk di depan laptop kami masing-masing. 

"Apa rencanamu dalam waktu dekat ini?" tanyaku setelah kami berdiam dengan pekerjaan kami di layar laptop masing-masing. 

"Nggak ada, mungkin beberapa kursus untuk post-doc tapi aku masih melihat-lihat, aku pasti minta pendapatmu sebelum enroll. Ada apa?" tanya Lagya. Aku menarik nafas panjang. Menghentikan jemariku dari papan tombol laptop dan memandangnya. Aku mengumpulkan keberanianku, menanyakan kembali pada diriku sendiri tentang apa yang akan kukatakan, dan seketika itu aku mengumpulkan jawabannya. 

"Menikah denganku." Dan seketika itu Lagya menghentikan kegiatannya. Mengalihkan tangannya pelan dari laptopnya dan melihat kepadaku. Mungkin memastikan apakah aku serius.

Lagya belum menjawab. Tapi dia tersenyum, perlahan dan semakin lebar. "Kalau laki-laki lain membuatnya seperti pertanyaan atau ajakan, kau membuatnya terdengar seperti perintah."

"Dan kau tahu betul aku tidak suka ditolak atau disangkal," jawabku. Sempat terbersit rasa takut kalau Lagya tidak akan patuh. Tapi dengan senyumnya, mestinya aku tak perlu khawatir. 

"So, when?" jawab Lagya seperti menantang. Dia masih tersenyum. Jantungku berpacu bahagia.

"As soon as possible. Right now?" kataku sambil menyodorkan kotak cincin. Cincin itu cincin Ibu, Sunny membawanya untuk diberikan padaku. Mungkin ia sudah merasa kalau aku menemukan seseorang untuk berjuang bersamaku. "Pakailah."

Dan tidak seperti perempuan lain, Lagya meraih kotak itu, mengambil cincin di dalamnya dan memandangku, memastikan apakah aku ingin ia memakainya. Aku mengangguk yakin, dan cincin itu segera melingkari tempat yang semestinya.

"Beautiful ring," katanya. 

"My mother's," jawabku, dan ia terkejut. Matanya membesar dan tampak semakin bahagia. Aku beranjak dan melakukan apa yang seharusnya kulakukan. With all my heart and soul. 


BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang