Liburan

61 12 0
                                    

Lagya

Pesawat malam selalu rentan dengan penundaan, tapi tak ada pilihan. Anggaranku hanya cukup untuk penerbangan ini. Ada sih maskapai yang lebih murah, tapi maskapai satu ini mampu memikatku. Tujuanku: Bali. Mungkin sudah hampir sepuluh tahun aku tidak mengunjungi pulau ini. Aku juga sengaja memilih hotel di daerah Kuta agar mudah berlari ke pantai. Aku tidak berselancar, aku cuma jalan-jalan. Apalagi ini bukan musim liburan, aku bisa memiliki pantai untuk diriku sendiri. 

Setelah beberapa hari menikmati pantai, salah seorang kenalan memberiku akses ke Uluwatu. Semula kupikir terlalu mengada-ada untuk sekedar melihat tebing, tapi setelah melihatnya, kupikir aku akan sangat menyesal jika menolak. 

Siang ini begitu panas, apalagi di tepi pantai tebing seperti ini. Lensa kacamata minusku langsung menghitam seketika turun dari mobil sewaan yang mengantarku. Aku berniat menyaksikan tari Kecak sehingga mobil akan menjemputku sekitar jam makan malam. 

Aku mulai berjalan dan menikmati Pura yang ada di pinggir tebing ini. Angin yang bertiup tak begitu kencang, tapi terasa menyenangkan membelai kepalaku. Banyak wisatawan yang berfoto, membuat semua tempat seolah penuh dengan jajaran orang yang mengabadikan kenangan. Namun aku tidak. Aku hanya mencari suasananya. Aku ingin berdiam dan menikmati angin, memandangi laut, dan mendengarkan ombak. Dan memikirkan semua yang terjadi setahun yang lalu. 

Siang itu aku pergi dari pelukan Milo Park dengan sangat hati-hati. Membangunkannya hanya akan membuatku lebih sulit untuk pergi. Bukan karena ia akan menahanku, tapi karena aku sendiri akan enggan. Tepat setelah aku bisa mengumpulkan barang-barangku, aku keluar. Tak lama aku berpapasan dengan wanita cantik itu. Dia masuk ke rumah seolah memang ia pemiliknya, ia tampak sangat terbiasa. Dan masih tampak begitu cantik dengan perutnya yang mulai kelihatan membuncit.

"Oh, jadi kau tak hanya berpesta di sini, tapi juga menginap di sini?" sapa Kay waktu itu. Aku hanya diam. Milo masih tidur, aku tak mungkin bertanya harus menjawab apa. Jadi aku hanya diam. 

Aku keluar untuk pergi. Aku merasa tak perlu berpamitan padanya karena menurutku dia bukan tuan rumah. Aku tetap melangkah sampai ia berkata, "Aku tahu Milo hanya menggunakanmu sebagai perisainya, ini bukan yang pertama. Jadi jangan senang dulu, bagaimanapun juga ia akan kembali padaku." Dan kata-kata itu sudah cukup untuk membuatku berhenti terlibat dengan Milo Park. 

Setelah itu aku berusaha menata hidupku kembali. Setahun ini bukan waktu yang longgar dan ringan untukku. Aku kembali mengajar di Universitas, diberi tanggung jawab lebih banyak oleh Andrew Nguyen yang kini jadi Dekan, dan tetap bepergian untuk urusan akademik. Bukan sekali dua kali aku berkesempatan untuk bertemu Milo Park, dan sejujurnya aku menantikan saat-saat itu. Tapi semuanya kulewatkan begitu saja. Aku khawatir pertemuan dengannya hanya akan kembali membuat hidupku berantakan. Aku tak ingin terlibat dengan aktingnya lagi, eksplisit maupun implisit.

Pernah suatu kali Andrew menawariku proyek penelitian. Dia menjelaskan bahwa sangat mungkin jika proposalnya memperoleh hibah, aku akan bertemu Milo Park setidaknya dua bulan sekali. Andrew mengatakan itu karena tahu bagaimana aku menghadapi Milo Park. Aku tetap menyusun proposal itu, tapi kemudian aku keluar dari tim ketika kebetulan aku punya proyek lain. Kupikir itu adalah tangan Tuhan. Memang belum waktunya aku bertemu lagi dengan Milo Park. Namun entah mengapa, aku sering merasa kalau dia mengawasiku entah dari mana. Semula aku merasa tidak nyaman, namun karena tak terbukti nyata jadi aku abaikan saja.

Seperti saat ini, aku merasa di pinggir tebing ini ada sepasang mata yang mengawasiku, mengikuti langkahku, dan sepertinya menikmati kegiatanku. Meski risih, aku berusaha tetap tenang namun waspada. Kuharap bukan orang yang berniat jahat.

Sambil menunggu loket tiket tari Kecak buka, aku menepi ke sebuah gazebo kecil sambil mengawasi kanan-kiri atas kemungkinan monyet yang mendekat. Ketika kurasa aman, aku duduk. Angin masih semilir, udara pantai yang panas terus bergerak. Aku menganggap ini sebuah perjuangan untuk menikmati keindahan. Aku tetap diam. Menghela nafas, dan bersyukur untuk segala ketenangan ini. Meskipun begitu, terbersit penasaran di dalam benakku. Aku bahkan tidak tahu persis apa yang kurasakan. Saat sedang sendiri begini, rentetan kejadian bersama Milo Park seolah kembali diputar di depan mata. Ada rasa jengah, rasa keki, tapi juga rindu. Aku pun penasaran, kenapa ia melakukan semua itu padaku.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang