Milo
Kalau saja ini bukan karena Andrew Nguyen, aku takkan jauh-jauh terbang ke Indonesia. Setelah urusan kerja sama di Yogyakarta selesai, ia memberinya hadiah liburan ke Pulau Bali. Semuanya sudah ia siapkan, termasuk jadwal kegiatan liburanku selama di sana. Aku sempat heran betapa ia mau bersusah payah untukku, tapi mungkin saja ia merasa berhutang banyak dengan menyuruhku menggantikannya menyeberangi benua.
"Anggaplah kau memang butuh liburan dan aku menyediakannya untukmu," ujar Andrew ringan.
"Aku bisa saja pulang ke Korea jika butuh liburan, tapi aku tidak butuh," dalihku.
"Mumpung kau ke Jogja, sempatkanlah ke Bali, kau takkan menyesal," kata Andrew berpromosi. Aku memang belum pernah mengunjungi pulau itu, tapi aku yakin dengan keindahannya. Bahkan film kelas dunia pun mengambil gambar di sana. Beberapa aktor dan model ternama yang kukenal pun suka berlibur ke sana. Tapi kupikir saat ini bukan waktunya berlibur ke sana. Apalagi hanya aku sendiri. "Mungkin dengan berlibur kau akan menemukan ritme kerjamu kembali. Aku dengar banyak keluhan terutama dari sekretarismu. Kau kerja seperti besok tak ada hari saja," tambah Andrew.
"Aku hanya bersemangat untuk bekerja, banyak yang ingin kuraih," kataku. Aku menjaga intonasiku agar datar saja, aku tak ingin Andrew mencurigai sesuatu.
"Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Milo?" tanya Andrew. Dia seperti tidak tahu saja kalau pertanyaan itu takkan mempan untuk Milo Park. Aku memandangnya tak percaya, seperti ia tidak kenal diriku. Dia tertawa. "Ok.. Ok.. simpan untuk dirimu sendiri. Tapi aku pasti melakukan sesuatu untukmu. Tunggu saja!" Andrew masih tertawa.
"Lagya juga kutugaskan ke Indonesia, tapi sepertinya tujuannya tidak sama denganmu. Dia mengurus beberapa persiapan pengumpulan data di dua kota besar, tapi bukan Jogja. Mungkin juga dia akan extend sebentar untuk liburan, tapi kupikir Bali bukan tujuan wisatanya," tambah Andrew. Dia selalu menganggap kalau setahun terakhir ini aku selalu memikirkan Lagya. Dia meremehkanku. Tak mungkin Milo Park memikirkan sesuatu tanpa bertindak. Aku tidak cukup memikirkannya, aku bahkan mengawasinya.
"Baiklah, aku pergi. Jangan menggangguku dengan hal-hal tak penting selama aku liburan," kataku berpura-pura galak. Andrew justru tertawa semakin keras.
Dan di sinilah aku, di salah satu hotel di sekitaran Kuta. Entah bagaimana Andrew bisa menemukan hotel yang murah tapi nyaman ini. Semuanya cukup untukku karena kupikir aku takkan berada di hotel terlalu lama. Kugunakan dua hari pertamaku berjalan di Kuta, menikmati hangat matahari dan air laut. Berenang dan mencoba berselancar sampai aku benar-benar yakin bahwa aku tidak cocok dengan olah raga ini. Kulitku sudah memerah sebelum aku sanggup cukup lama berdiri di atas papan selancar. Aku harus menyerah.
Kuputuskan untuk berhenti mencoba selancar dan menikmati wisata budaya. Ada tawaran untuk menikmati sajian tarian, Kecak atau Barong. Dari foto-foto promosi, aku lebih tertarik untuk menonton Kecak di pinggir tebing. Mungkin ini pilihan yang baik. Aku siapkan kamera dan menghubungi sopir yang sudah disiapkan Andrew untukku. Dia memang teman yang sangat baik.
Hari ini terasa amat berbeda untukku. Sejak pagi aku seperti sangat antusias dengan apa yang akan kunikmati sore ini. Bahkan meski aku tahu tiket tari Kecak baru dijual pukul 5 sore, tapi aku ingin berangkat tepat setelah makan siang. Dan itu pula yang kulakukan.
Suasana Uluwatu begitu panas menyengat, tapi aku sudah siap dengan kacamata, topi, dan losion pelindung kulit yang kupakai sebelum berangkat tadi. Aku berjalan dan menikmati apa yang ada. Benar-benar indah, menakjubkan, dan alami. Tempatnya tak luas, tapi memang spot inilah yang menambat mata untuk terus memandang. Dari bagian halaman pura yang cukup tinggi aku menikmati angin dan pemandangan yang tersaji. Banyak wisatawan yang juga ingin mengabadikan kunjungannya dengan jepretan foto kamera maupun ponsel pintar. Pose dengan latar belakang tebing dan laut menjadi salah satu favorit. Aku lebih suka mengabadikan pemandangan. Poseku hanya akan merusak keindahannya.
Ketika hari beranjak sore, aku bersiap di sekitar tempat penjualan tiket tari Kecak sambil meneliti gambar-gambar yang tadi sempat aku bidik. Satu demi satu kunikmati, kuanalisis. Gambar-gambar yang bagus. Alami. Menarik. Lalu pandanganku terpaku pada sesuatu yang ada dalam gambarku. Seseorang yang tak sengaja masuk dalam bingkai gambarku, sedang memandang jauh ke laut, menikmati angin dan deburan. Sosok yang aku kenal. Seorang yang mungkin ingin sekali aku temukan, sekarang ada di sini. Di tempat yang sama denganku. Menikmati suasana yang sama denganku. Lalu segera aku mengedarkan pandangan dan mencari sosok itu, berharap ia juga menantikan pertunjukan tari Kecak di tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda
RomantizmCerita tentang hubungan seorang mahasiswi dengan supervisor riset doktoralnya yang berkembang menjadi sebuah hubungan yang berbeda. Profesor yang tampan namun dingin ini ternyata cukup egois dan punya cara yang unik untuk mengenali dan mengenalkan p...