Lagya
Aku merasa gerah, entah karena mimpi yang tak begitu jelas atau nafasku yang agak tersengal. Namun setiap kali kuhirup nafas, ada wangi yang tak asing dan menenangkan. Aku jadi enggan membuka mata. Tapi samar-samar aku teringat di mana aku sejak semalam. Aku menemani Milo Park yang demam tinggi. Mestinya ini sudah pagi, waktunya melihat perkembangan suhunya.
Aku merasakan kain yang halus dan nyaman di pipiku. Mungkin sprei atau sarung bantal di ranjang Milo Park. Tapi seingatku warnanya putih gading, bukan biru tua seperti yang kuhadapi sekarang. Lagipula kain biru ini juga bergerak teratur, seolah sedang bernafas. Lalu aku mendongak pelan dan aku menemukan dagu Milo Park di atas kepalaku. Lalu kutelusuri lengan Milo, bersandar di pinggangku. Dan kaki jenjangnya seperti menjagaku dari pinggiran ranjang yang tak berpagar. Entah bagaimana, aku berakhir terlelap di pelukan Milo Park.
Aku bingung antara keluar dari relung nyaman yang tidak benar ini atau tetap diam agar Milo juga tidak terjaga. Kupikir dia pasti butuh istirahat. Aku coba bergerak sepelan mungkin, melepaskan diri dari tangan dan kakinya. Tapi entah sadar atau tidak, Milo justru mengetatkan tangan dan kakinya di sekeliling tubuhku. Dan aku masih terus berusaha.
"Tidurlah dulu, kau pasti butuh tidur," gumam Milo malas. Matanya bahkan masih terpejam.
"Tapi kau membuatku sesak," jawabku.
"Itu karena kau berusaha pergi. Kalau kau diam saja, kau akan merasa lebih nyaman." Entah bagaimana aku bisa menuruti kata-katanya. Kulanjutkan tidurku dalam posisi yang sama.
Milo
Aku benci mengakuinya, tapi aku senang. Aku senang Lagya lelap dipagari tubuhku, merasakan nafasnya yang teratur di dadaku. Aku tidak pernah merasa sedamai ini. Ketika kakinya bergerak-gerak kedinginan, aku tarik selimut menutupinya. Hanya dia. Aku khawatir dia merasa tidak nyaman jika selimut itu kutarik lebih jauh dan melibatkan tubuhku. Aku sudah merasa cukup hangat dengan Lagya di sini. Sudah cukup. Dan aku kembali terlelap.
Aku terkejut ketika terbangun tanpa memeluk Lagya. Aku mencarinya ke mana-mana, bahkan ke seluruh penjuru rumah. Dia sudah tidak ada. Kutanya kepala rumah tanggaku, dia bahkan tidak bertemu Lagya. Dia justru bertemu orang lain.
"Kay?" tanyaku tak percaya.
"Iya Tuan, Nyonya Kalyana tadi datang menjenguk. Beliau sudah duduk di samping ranjang ketika saya masuk untuk merapikan kamar."
Ah, baguslah dia tak membangunkanku. Aku sedang tidak ingin berkonfrontasi dengan Kay. Hal itu sangat membuang waktu.
Aku meminta kepala rumah tanggaku untuk segera pergi dan membiarkanku sendiri. Seperti biasanya. Aku terdiam memikirkan semua yang terjadi beberapa waktu lalu. Saat itu aku begitu yakin Kay akan ada untukku selamanya. Terus terang waktu itu aku sudah enggan untuk menemukan perempuan lain. Kay terasa begitu cocok dengan semua yang ada di hidupku. Kay hanya tidak sabar. Dia tidak sabar menungguku menyelesaikan tugas-tugas kehidupanku. Waktu itu aku bukan laki-laki kaya seperti ini, waktu itu aku butuh menghidupi Ibu dan adikku. Mereka butuh makan dan sekolah, sementara aku terus melaju menyelesaikan studiku. Itu impianku, dan aku membiayai mimpiku dengan beasiswa. Aku berusaha menyelesaikan segala hal dalam waktu singkat agar tidak terlalu membebani keluarga.
Berbeda dengan Kay yang keluarganya berada, merasa bisa menyelesaikan segala kesulitanku dengan uangnya. Dia bersikeras merawat keluargaku dan menghidupi mereka. Aku menolaknya. Aku seorang laki-laki, tak bisa bergantung begitu saja dengan perempuan. Aku bahkan bekerja di dunia hiburan untuk menutup semua kebutuhan. Aku mengorbankan waktuku untuk upayaku mencari nafkah. Hingga Kay merasa tidak dihargai dan ia meninggalkanku sebagai bentuk protesnya. Kubiarkan saja. Dan aku berlari melaju dengan kesibukanku.
Awalnya berat. Aku mencintainya, lalu kehilangannya. Saat itu aku masih berharap bisa bersatu kembali dengannya. Itu juga yang menjadi semangatku untuk terus bekerja meskipun aku sudah bisa memberikan kehidupan yang lebih dari cukup untuk keluargaku. Tapi ternyata Kay tak cukup bersabar. Ia memanfaatkan sepupuku yang sejak dulu jatuh cinta padanya, dan membiarkan pria itu mendonorkan sperma secara cuma-cuma. Sepupuku hanya berharap bisa mendapatkan Kay dengan adanya anak itu. Tapi itu hanya membuktikan kebutaan cintanya. Ia belum kenal siapa Kay sebenarnya.
Dan kini kehampaan itu datang lagi. Bersama dengan kesadaran bahwa Lagya tidak lagi di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda
RomanceCerita tentang hubungan seorang mahasiswi dengan supervisor riset doktoralnya yang berkembang menjadi sebuah hubungan yang berbeda. Profesor yang tampan namun dingin ini ternyata cukup egois dan punya cara yang unik untuk mengenali dan mengenalkan p...