Terkejut

73 14 0
                                    

Milo 

Aku terbangun oleh cercah cahaya mentari yang menerobos masuk dari sela tirai jendela kamarku. Aneh memang, karena aku memasang tirai blackout di kamar. Tak lama kemudian aku sadar kalau aku tidak tidur di kamarku. Aku tidur di sofa ruang tamu. Lagya yang tidur di kamarku. Ya, aku memaksa mahasiswaku tidur di ranjangku karena makan malam kami yang sangat terlambat dan aku tidak tega ia pulang ke rumahnya jam 2 pagi. Lagya tampak sangat lelah dan aku pun terlalu penat untuk mengantarnya pulang. Dan aku sudah melibatkannya pada sesuatu yang tidak seharusnya. Orang secerdas dia pasti bertanya-tanya tentang kata-kataku kemarin pada Kay, tapi Lagya menahan diri. Ia sama sekali tidak menyinggung apapun soal kejadian itu. Aku menghargainya. 

Aku keluar dari kamar mandi mencium bau harum roti tawar yang dibakar dan keju yang meleleh. Lalu semerbak teh melati yang aromanya terasa begitu tradisional. Seleraku bangkit dan perutku lapar. Dan semakin lapar ketika aku tahu yang memasak bukan asisten rumah tangga part-time yang kusewa. Mahasiswa doktoral bimbinganku sedang menyiapkan sarapan di dapurku. Pakaiannya masih yang kemarin, tapi tampaknya ia sempat mandi sebelum aku bangun. Sebenarnya aku agak malu dengan keberadaannya di rumahku. Bahkan kekasihku pun belum pernah menginap di rumahku.

"Maaf aku hanya menyiapkan ini.. aku tidak bisa masak" kata Lagya malu-malu. Tapi kemudian rautnya berubah serius, aku khawatir ia meminta penjelasan soal semalam. Aku tak suka harus menjelaskan sesuatu saat perutku lapar pagi-pagi begini.
"Pagi ini aku harus mengajar, jadi aku harus pulang pagi-pagi untuk ganti baju. Tidak lucu kalau ada yang tahu ini bajuku semalam."

"Ok, aku antar setelah sarapan." Aku memutuskan. Aku tidak mau dibantah, jadi begitu pula nada kalimatku kusampaikan. Lagya duduk dan menikmati sarapannya. Segera setelah sarapan, kami berangkat.

Lagya

Aku terkejut dengan perasaan aneh yang hadir karena Prof Milo Park duduk di sofa ruang tamuku. Boleh dibilang kalau luas rumahku masih lebih kecil daripada ruang tamunya. Tapi aku sudah kehabisan waktu. Aku harus segera ganti pakaian dan berangkat. Belum lagi menyelesaikan ketikan hasil diskusi kemarin yang semestinya sudah jadi paper minggu ini.

Kini aku lebih terkejut lagi dengan kenyataan bahwa pembimbing disertasiku sedang mengawasiku mengajar. Ia duduk di kursi deretan tengah dan seolah menikmati apa yang aku sampaikan. Seolah? Ya, aku yakin begitu. Ia pasti jauh lebih menguasai materi yang aku sampaikan. Lalu kenapa ia tidak memasang tampang meremehkan yang sudah kuduga sebelumnya?

"Aku menikmati kuliahmu." Aku tersenyum menutupi kegugupanku. Sudah lupa hitunganku soal berapa kali ia membuatku terkejut. Dan aku mulai menghitung sejak semalam, sejak ia mengenalkanku sebagai calon istrinya. Aku juga tak mengenal perempuan cantik yang disapa Kay itu. Dan semalam aku terlalu lelah untuk mencari klarifikasi. Tapi sore ini, aku berencana menanyakannya.

Milo hanya tersenyum ketika aku bertanya soal semalam. Dia bilang dia akan menceritakannya malam ini, sambil makan, setelah ia mengantarkan pulang untuk ganti baju dan mengambil baju ganti. Aku sempat curiga mengapa ia menyuruhku membawa beberapa pakaian namun aku mengikutinya. Aku akan tinggal lagi beberapa hari di rumahnya. Tapi kali ini bukan rumah tempatku menginap semalam, tapi rumah perpustakaannya yang sering ia pinjamkan kepada mahasiswa bimbingannya. Letaknya juga tak jauh dari universitas. Kami juga mampir sebentar ke rumahnya untuk mengambil pakaian dan bergegas ke tempat tujuan.

Rumah itu tidak besar, tapi 70% isinya adalah buku-buku. Sisanya adalah bantuan hidup dasar. Ada beberapa kamar yang tidak terlalu besar, kamar mandi standar, dapur sederhana, serta ruang diskusi yang canggih. Ada beberapa set komputer dan jaringan internet yang lebih dari cukup untuk menelusuri literatur ilmiah di seluruh dunia. Aku senang di tempat ini.

"Jadi sebenarnya, kebohongan apa yang sedang kau mainkan?" Tanyaku. Mungkin tidak sopan pada supervisor berkata begitu. Tapi kupikir kami sudah cukup akrab sehingga ia menarikku dalam kebohongannya.

"Kay itu mantanku, tapi hamil dengan sepupuku." Jawaban itu pun seketika membuatku kembali terkejut.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang