Milo
Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin ada. Bahkan probabilitas terkecil pun akan aku pastikan. Aku menghubungi belakang panggung dan menceritakan pada mereka rencanaku. Mereka tampak percaya dan bersemangat dengan apa yang kukatakan dan siap membantuku. Mereka juga memastikan identitasku tetap anonim. Ketika mentari semakin merapat ke cakrawala, aku semakin yakin aku menemukannya.
Lagya
Seorang perempuan berusia 30-an dengan pakaian adat Bali masuk ke arena tari yang di tengahnya sudah disiapkan chandelier raksasa dengan ukiran dan nyala api. Ia kemudian menyapa para penonton yang sudah mulai kepanasan menanti pertunjukan di bangku-bangku pendek berkonsep teater ini. Aku berhasil memilih tempat yang cukup strategis untuk pemandangan yang sempurna, baris ketiga dari bawah tepat di tengah juring tempat duduk. Awalnya agak panas dan silau ketika matahari belum tenggelam, tapi saat sunset, tempat ini tak tergantikan. Pemandangan yang menuntaskan dahaga jiwa.
Tapi tiba-tiba namaku dipanggil. Ya, aku dipanggil. Tiga kali namaku dipanggil. Lalu aku berdiri, kebingungan, dan ratusan pasang mata terpusat ke arahku. Aku melambaikan tangan dan wanita tadi memberikan sebuah kamera DSLR dengan tele yang katanya milik temanku. Aku kebingungan. Aku bahkan datang kemari sendirian. Tapi kalau dia bisa tahu namaku dan tahu aku di sini, pastilah dia orang yang kukenal. Tak banyak temanku yang tahu aku di sini. Andrew pun tak tahu kalau aku sedang ada di sini. Lalu siapa?
Mau tak mau kuterima juga kamera itu. Tidak lucu untuk menunda pertunjukan yang dinantikan ratusan orang hanya untuk berargumentasi bahwa aku datang sendirian. Aku agak jengah dan kebingungan, tapi keindahan tari Kecak seolah mampu menutupi rasa galauku. Aku bahkan tidak tahu harus kukembalikan ke mana kamera mahal ini. Ketika keluar dari arena pertunjukan tari, aku masih terus berpikir. Hingga aku tidak menyadari sama sekali kalau sebenarnya aku melewati si pemilik kamera ini.
Sampai di mobil, aku diam sejenak. Hal yang sedari tadi aku pikirkan adalah siapa pemilik kamera ini dan mungkinkah ada informasi dalam foto-foto di kamera ini. Setelah mobil berjalan menembus kemacetan jalan Uluwatu ke arah Kuta, aku putuskan melihat isi kamera itu. Mungkin saja aku akan dapat petunjuk.
Foto-foto di dalam kartu memorinya tak begitu banyak. Diawali dengan suasana pura Uluwatu yang kusaksikan tadi, tebing dan ombak, serta birunya laut dihiasi warna jingga pertanda menuju senja. Lalu ada beberapa foto tentang keramaian. Dan satu foto yang membuatku terdiam, ada aku di sana. Aku yang sedang memandang jauh ke laut. Ternyata saat itu aku tersenyum. Seingatku aku hanya berpikir waktu itu. Berpikir tentang semua hal ganjil yang kutemui dalam setahun ini. Mungkin memang pemilik kamera ini mengenalku dan tahu aku di Uluwatu dari foto ini.
Lalu foto-foto pantai Kuta, tapi hanya laut, pasir, dan ombak. Tak ada tanda-tanda wajah yang kukenali ada dalam foto-foto di sini. Aku heran ada orang selain diriku yang tak pernah mengambil foto diri waktu liburan. Ya, aku juga lebih suka jadi tukang foto, bukan model di foto. Lalu ada satu foto halaman depan sebuah hotel. Dari tanggal pengambilannya, baru beberapa hari yang lalu. Kuputuskan untuk segera menuju hotel itu dan mengembalikan kamera ini. Aku tak ingin berurusan terlalu lama dengan sesuatu yang tidak jelas.
"Staf kami akan mengantar Kakak ke sana," kata resepsionis dengan logat Bali yang masih sangat kental. Aku berhenti dan mengerutkan kening.
"Tak bisakah kami bertemu di Lobby saja?" tanyaku.
"Beliau berpesan untuk menemui tamu di lobby villa beliau," jawab sang resepsionis ramah. Oh, jadi dia memang memesan kamar dengan ruang tamu. Orang kaya rupanya. Aku tahu karena aku pernah memesankan beberapa orang dengan beberapa tipe kamar yang berbeda, salah satunya yang model villa ini.
Ketika bellboy membunyikan bel, kamar langsung terbuka, dan aku dipersilakan masuk. Hanya suara saja yang terdengar mempersilakan masuk. Aku seperti mendengar suara yang familiar, tapi belum waktunya mengambil kesimpulan. Aku ikuti saja permainannya. Setelah aku kembalikan kameranya, aku pulang. Tapi begitu melihat sang pemilik suara, aku tersadar bahwa mungkin harapanku akan melayang sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda
RomanceCerita tentang hubungan seorang mahasiswi dengan supervisor riset doktoralnya yang berkembang menjadi sebuah hubungan yang berbeda. Profesor yang tampan namun dingin ini ternyata cukup egois dan punya cara yang unik untuk mengenali dan mengenalkan p...