Begadang

67 14 0
                                    

Milo

Tidak, dia sama sekali tidak tahu aku ada di sekitar jalan itu. Ia hanya fokus menggenggam kamera itu dan menembus ratusan orang yang ingin keluar dari teater tari Kecak ini. Aku bahkan sudah memilih tempat yang agak terang, berharap dia tak sengaja menangkap bayanganku. Tapi harapanku menguap begitu saja. Baik, aku akan menunggu sampai ia mengembalikan kamera itu. Mestinya Lagya cukup cerdas untuk bisa segera menemukanku.

Aku selesai mandi ketika kudengar bel pintu kamar berdering. Aku sempat terdiam, memikirkan sejenak berbagai kemungkinan yang berkelebat. Lalu aku buka kunci kamarku dari dalam tanpa aku mendekati pintu, dan kutunggu tamuku di bagian depan villaku. Ya, aku tertegun. Lagya menemukanku. Dan ia tampak terkejut melihatku.

Lagya

Milo. Milo Park ada di hadapanku. Tampak begitu tampan dengan jubah mandinya, rambutnya basah tapi sudah tersisir rapi, bibirnya masih merah dan aku penasaran apakah rasanya masih sama. Aku menggeleng-gelengkan kepala menghilangkan bayangan aneh yang entah bagaimana bisa terbentuk dengan sendirinya di dalam kepalaku. Hingga tanpa aku sadari Milo Park sudah ada di depanku, merebut kamera dari tanganku, dan menciumku. Ya, seperti bisa membaca rasa penasaranku, ia menciumku. Bibirnya bergerak lembut dan berusaha membuka mulutku yang entah bagaimana seolah pasrah dengan apa yang ia inginkan. Dan entah sudah seberapa lama ketika Milo Park melepaskan ciumannya, mataku masih terpejam, mulutku masih terbuka. Memalukan.

"Kamu ke mana saja?" tanyanya ketika keadaanku sudah lebih tenang. Atau paling tidak, sudah sadar dengan apa yang ia lakukan. 

"Sebentar...," kataku sebelum ingin menjawab pertanyaannya. "Kenapa kau selalu melakukan apa yang kau mau? Dulu kau juga melakukannya di bandara. Sekarang di sini. Apa maksud semua ini?" nada suaraku sudah mulai meninggi. Mestinya aku segera pergi dari sini. 

Milo Park menatapku seolah semua jawaban itu ada di matanya. Tapi jujur saja, aku malah semakin bingung. "Kamu egois," ujarku. "Kamu melakukan semua kesenanganmu dan tidak berpikir bagaimana hal itu akan mempengaruhiku. Apa kau melakukan ini pada semua mahasiswi bimbinganmu?"

Tanpa aku prediksi sebelumnya, pandangannya menajam dan mendingin. Aku takut. Apakah kata-kataku salah? Siapa yang tukang cium sembarangan? Memangnya pernah ada sesuatu yang membuatnya boleh menciumku sewaktu-waktu? Atau tiba-tiba memelukku waktu aku tidur? Dia seperti lelaki mesum. Apalagi ketika dia mendekatkan wajahnya sekali lagi ke mukaku, lalu berbisik di telingaku.

"Aku tidak mencium sembarang wanita, bahkan aku tidak asal mencium perempuan. Aku juga tidak tidur dengan sembarang wanita. Kamu harus tahu itu!" katanya dingin. Aku terdiam. Ia tampak tak tertebak. Aku bahkan tidak bisa menaksir apa sebenarnya yang dia maksud. Aku agak takut. "Lalu, kamu ke mana saja?"

"Aku tidak ke mana-mana, aku masih dengan kesibukanku biasanya, di tempat yang sama."

"Kamu pergi dari rumahku tanpa mengatakan apapun. Kenapa?"

"Kau tidur sangat lelap dan tampak sehat. Tugasku sudah selesai dan aku tak ingin mengganggu istirahatmu."

"Lalu kenapa kau menghindariku setelah hari itu? Kau melewatkan semua kesempatan yang mungkin melibatkanku. Kau bertemu Kay siang itu, kan?" Aku terkejut dengan pertanyaannya. Rupanya ia bertemu Kay hari itu. "Apa yang ia katakan padamu?" tanyanya lagi. 

"Bukan sesuatu yang penting. Dan aku tidak menghindar darimu. Mungkin memang tidak ada apapun yang mengharuskan kita bertemu." Aku bingung harus menjawab apa, apalagi ciuman tadi benar-benar membuatku buntu. Milo juga tampak tak percaya dengan jawabanku. Lalu aku beranjak, tapi Milo menghalangiku dan memaksaku kembali duduk. Aku hampir marah, tapi melihat ekspresinya yang begitu dingin, api amarahku langsung padam.

"Katakan padaku apa yang dikatakan Kay," pintanya halus. Sorot matanya tampak tulus dan lebih hangat. Ok, aku harus mengakui kalau ini membuatku luluh. Lemah.

"Kau menggunakan aku sebagai perisaimu, dan ini bukan yang pertama. Kau akan tetap kembali padanya," dan seketika itu sorot matanya kembali membara, seperti kobaran amarah. Aku takut dengan perubahan itu dan seperti tahu, Milo lalu melembut.

"Aku tidak pernah berpura-pura, bahkan kalaupun aku berpura-pura, hanya kulakukan malam itu di tempat makan. Selebihnya, aku tak pernah berpura-pura." Dan runtuhlah segala pertahanan diriku, karena sesudah itu yang kuingat hanya ciuman Milo Park yang jauh lebih dalam dibandingkan apa yang pernah kurasakan.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang