Pengakuan

94 16 0
                                    

Lagya

Ini sudah hari ke sekian aku berguru pada Prof Park. Dia lebih suka dipanggil Milo, seperti membeli sekotak susu coklat penuh energi, pikirku. Tapi aku menghormati pilihannya. Milo adalah ilmuwan yang berbeda. Setiap pagi, ia selalu memeriksa jadwal dari ponselnya, melakukan beberapa percakapan telepon singkat, dan membalas email pekerjaan. Segala macam email yang tidak berhubungan dengan pekerjaan ia sisihkan untuk dibaca sore atau malam hari. Lalu biasanya sekitar pukul 7 atau 8 dia akan berdiam sejenak untuk membaca dan menulis berselang-seling setiap harinya. Hari ini membaca, besok ia tulis, lusa ia baca bahan lain lagi. Cukup 1 jam dan kemudian ia lanjutkan kesibukannya untuk mengajar dan kesibukan kampus lainnya. Biasanya kami berdiskusi menjelang jam makan siang setelah kelasnya, atau seusai makan siang. 

Milo selalu makan siang sendiri. Ia membawa bekal atau memesan makanan kantin. Kadang ia melakukan lunch meeting dengan profesor seniornya, namun tak pernah dengan junior atau mahasiswanya. Setiap hari Rabu sekitar pukul 11, akan ada telepon dari nomor yang sama yang menceritakan beberapa hal yang sama sekali tak berhubungan dengan kerja ilmiah. Entah apa aku tak tahu. Sampai siang ini, ketika ada 3 pria menjemput Milo untuk pergi ke suatu tempat.

"Lag, kau ikut denganku dan bawa beberapa jurnalmu yang paling baru. Tak perlu bawa laptop, bawa saja buku dan pensil." Instruksinya sangat jelas. Aku berusaha mengingat kata-kata kunci yang harus kupatuhi. Sampai di tempat parkir, Prof Milo menyuruhku masuk ke mobilnya, sementara satu dari tiga orang yang datang tadi juga masuk ke mobilnya.
"Kita akan ke mana, Milo?" tanyaku. Milo melarang setiap awalan Prof ketika kami berkomunikasi.
"Nanti kau akan tahu" lalu ia tersenyum sekilas.

Kami bermobil bersama salah satu dari tiga orang tadi yang selama perjalanan menceritakan sesuatu yang sama sekali tak kumengerti. Naskah, sutradara, scene, dan beberapa kosakata lain yang tak pernah aku sebutkan. Aku semakin bingung lagi ketika kemudian Milo duduk dikelilingi beberapa orang dengan kuas make-up. Aku merasa seperti tersesat. Kemudian segera sebelum kuas-kuas itu menempel di kulitnya, Milo sempat memberiku instruksi. 

"Aku ada pengambilan gambar sebentar, tapi ruangan ini akan kosong selama kegiatan itu. Kau bekerjalah di sini, aku akan mengaturnya. Kita diskusi saat istirahat nanti. Kuharap malam ini salah satu papermu bisa selesai." 

Ya, hanya itu yang ia katakan. Penuh dengan instruksi dan tekanan yang tidak tersurat, namun kental tersirat. 'Salah satu papermu bisa selesai' artinya paper itu benar-benar siap untuk submission. Entah mengapa ia tidak meninggalkanku saja di kantornya. 

"Aku ingin memastikan satu papermu benar-benar selesai malam ini," kata Milo tiba-tiba seolah membaca pertanyaan dalam kepalaku.

Milo

Sudah lama aku tidak menjamah dunia gemerlapan yang penuh blitz dan kamera ini. Meskipun hanya iklan komersial, kegiatan ini tidak kalah melelahkan dibandingkan kerja ilmiah yang lebih sering kulakukan. Membaca, menulis, mengajar, melakukan penerangan pada masyarakat. Sedangkan ini, aku harus tersenyum, berganti baju 5-10 kali setiap sesi, dibedaki, dan bergaya seperti apa yang mereka mau. Kadang memang menyenangkan, tapi aku sudah mulai bosan. Aku pun sudah mulai dibilang sombong atau jual mahal. Padahal upahku untuk pengambilan gambar masih standar. 

Satu hal yang membuatku bertahan adalah bahwa mereka semua tidak tahu pekerjaan utamaku. Hanya agenku saja yang tahu kalau aku salah satu profesor paling muda di negeri ini. Aku sengaja menyembunyikannya, memberikan syarat make-up tertentu agar wajahku sedikit disamarkan. Sering mengganti gaya rambut, atau gaya berpakaian. Aku tidak ingin dikenal karena enak dilihat. Aku ingin diakui sebagaimana kemampuan yang kumiliki. Aku laki-laki cerdas yang punya prinsip. Tapi mungkin sebentar lagi hal itu memudar. Aku mulai membuka jati diriku dengan membawa mahasiswa ke lokasi pengambilan gambar. 

Lagya adalah mahasiswa pertama yang kubimbing di luar kelas, sebelumnya belum pernah ada. Kupikir ia bisa bekerja dengan tekanan, dan ia beberapa kali menunjukkan bahwa ia mampu menjawab tantangan. Yang masih menjadi pertanyaanku adalah bagaimana ia bisa tergeletak pingsan di depan apartemenku waktu itu. Hingga aku menolongnya dan akhirnya ia menghabiskan sarapanku.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang