Hilang

60 13 0
                                    

Lagya 

"Apa???" teriakku dalam hati. Aku hampir saja menyerakkan semua kertas dan jurnal yang ada di mejaku. Milo Park berhenti membimbingku dengan alasan conflict of interest. Apanya yang conflict of interest?! Dia memang menulis dalam salah satu paper yang aku publikasikan, tapi bukankah semua pembimbing begitu? Memang dalam paper itu bisa dikatakan sebagian adalah idenya, dia memberi banyak masukan sehingga paper itu sangat berbeda dari draft pertama yang kusodorkan padanya. Tapi bukankah semua pembimbing begitu???

Beberapa hari ini aku hanya sibuk mencari penjelasan dari Milo Park. Sebenarnya apa alasannya pergi dan menelantarkanku seperti ini? Ok, dia memang memberiku alternatif penguji lain yang langsung setuju untuk mengujiku, kata Prof Andrew, pembimbingku. Tapi langkah ini sangat merepotkan dan membuat jadwal defense disertasiku mundur beberapa minggu. Aku harus mengontak beliau yang mengajar di Norwegia, skype meeting setiap hari Rabu siang, lalu mengirimkan beberapa tulisanku untuk ia pelajari. Prof Nilsen orang yang baik, dia sangat sabar dan teliti. Tapi harus diakui kalau ini membuang waktuku banyak. Hingga aku kaku hati, aku putuskan menemui Milo Park.

Ruang kerja Profesor Milo Park di universitas tidak sulit ditemukan. Dia hanya sulit ditemui. Sekretarisnya mengatakan jadwal yang hampir tidak masuk akal untuk hari ini. Sudah ada 4 mahasiswi duduk mengantri untuk konsultasi, dan dalam dua jam beliau sudah harus ada di bandara untuk kunjungan kerja ke Jenewa selama dua minggu. Ini aneh karena penerbangan ke Eropa biasanya akan dimulai tengah malam. Menyusul ke Jenewa adalah tidak mungkin karena aku tak punya simpanan sebanyak itu. Lebih baik kugunakan uangku untuk persiapan defense. Dan menunggu dua minggu untuk jawaban itu sangatlah menyiksa, meskipun aku terhibur tumpukan tugas-tugas yang harus kuselesaikan demi gelar PhD yang sudah di depan mata. 

Benar juga, semua jadwal Prof Park sampai dua minggu ke depan bersih. Dia benar-benar pergi. Bahkan sekretarisnya berani mangkir kerja dengan alasan dia hanya menangani email dan panggilan yang sudah ia alihkan. Semua kelas sudah diserahkan ke asisten, beberapa mahasiswa PhD, dan sebagian kelas lain penuh dengan tugas. Aku sudah berusaha mengirimkan email yang sopan dan terdengar sabar untuk mendapatkan penjelasan, namun tak satu pun dibalas oleh Milo Park. Beberapa kali aku juga mengirimkan pesan online, namun tak satu pun dibalas. Sampai ketika aku mulai merasa gemas, aku berusaha melakukan panggilan internet. Tak satu pun membuahkan hasil. 

"Milo Park memang kadang eksentrik seperti itu, Lagya," ucap Andrew dengan ringan. Dia bahkan tertawa mendengar keluhanku tidak bisa menghubungi Milo Park. Katanya, Milo pernah melakukan hal yang hampir sama seperti itu ketika mereka kerja kelompok. Hal itu justru menguntungkan untuk Andrew sehingga dia merasa berhutang budi pada Milo. "Tak perlu berpikir bahwa ini semua salahmu. Milo Park memang begitu. Tapi percaya padaku, dia takkan bersikap seperti banci dengan dendam dan menjerumuskanmu.. " dan kata-kata itu masih saja belum bisa membuatku tenang. Milo Park berhutang penjelasan padaku. 

Milo 

Lagya. Ini nomor Lagya. Meskipun aku sudah menghapusnya tapi aku hafal deretan nomor itu. Kotak masukku pun penuh dengan email darinya, semuanya kutandai belum dibuka meskipun sudah kubaca. Pesan di ponselku penuh dengan pesan Lagya. Semuanya isinya hampir sama. Ia membutuhkan penjelasan. Entah kenapa aku senang melihat deretan pesan Lagya di kotak masukku. Rasanya seperti dia...  merindukanku. Aku jadi merasa kalau ada yang menungguku pulang. Yah, meskipun aku yakin Lagya menantiku dengan penuh rasa penasaran atau bahkan amarah. Tapi aku tak peduli. Aku mungkin enggan mengakuinya, tapi aku ingin segera sampai di rumah. 

Aku mungkin tidak sadar bahwa sejak tadi aku tersenyum samar, dan orang-orang melirikku penasaran. Mungkin mereka pikir aku setengah gila. Sampai kemudian aku tersadar ada hal yang tak menyenangkan di area penjemputan. Di sana ada Kay, dengan cantik figurnya seperti model di studio pemotretan. Lalu ada Lagya tak jauh dari tempat Kay berdiri, berusaha menyembunyikan kemarahannya dengan senyum. Sorot matanya tampak membara ingin membakarku. Lalu ada Elly, sekretarisku yang memenuhi tugasnya untuk menjemputku di bandara sesuai jadwal. Aku berpikir sejenak. Aku harus menuju arah yang tepat. Bisa saja aku tak pulang kalau aku salah pilih. Setelah menarik nafas panjang, aku melangkah ke arah yang menurutku paling benar. 

Aku melangkah pasti menuju arah yang tepat. Aku yakin langkahku pasti menuju ke sana. Tiba di depannya, aku seperti terpana. Tatapannya yang tajam dan cerdas membuatku terdiam.. Dia memang marah, tapi penuh tanya. Ketika bibirnya sedikit membuka untuk menyapa, aku tak bisa menahan diriku lagi. Aku menunduk, pelan tapi pasti. Lagya akan berbicara, tapi kuhentikan dengan sebuah ciuman. Ya, entah apa yang ada di kepalaku tapi aku menciumnya. Bukan, bukan di pipi. Aku mencium bibirnya. Aku tidak berpikir lagi. Aku hanya mencium bibirnya. 

Awalnya canggung. Bibir Lagya hanya diam, tidak bergerak. Tapi sekalinya bergerak, menggesek bibirku, hasratku menggelegak. Bibirku ikut bergerak, mencari lekukan dan celah di antara bibirnya dan mencicipinya. Mungkin aku sudah gila, aku bahkan tidak berpikir. Tapi Lagya bahkan tidak menghentikanku, atau menamparku. Aku menikmatinya. Mungkin Lagya juga. 

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang