Lagya
Akhirnya setelah silang pendapat yang cukup panjang akhirnya aku tetap tidur di hotelku dan Milo juga tetap di villanya. Dia menjemputku kalau kami akan keluar, atau sebaliknya. Pernah seharian kami tak ingin ke mana-mana, jadi kami jalan membeli beberapa makanan dan minuman untuk teman menghabiskan hari di kamar. Selain menonton film di tv kabel villa, aku juga membawa koleksi filmku. Kami maraton nonton film. Sesekali Milo menerima telepon dari koleganya atau menjawab email dari mahasiswanya. Aku berusaha mengerti, karena itu juga yang kulakukan selama ini. Dan Milo tidak pernah terlalu lama bertelepon.
Terus terang saja aku merasa bahagia. Aku belum pernah merasakan pacaran, semua cowok yang kusukai biasanya tidak menyukaiku balik. Lebih sering merasakan cinta tak berbalas. Termasuk Deano. Dulu kami berteman akrab, dia sering mengerjakan tugas di tempatku bersama beberapa teman lain. Kami sering tergabung dalam satu jadwal praktikum, jadi asisten di laboratorium yang sama, atau sekedar makan siang di sela-sela kuliah. Aku jadi lebih mengenalnya, lalu menyukainya. Namun untuk Deano aku hanya seorang teman. Aku bukan orang yang tepat untuk rencana hidupnya hanya karena usia kami yang hampir sama. "Aku butuh pendamping yang beberapa tahun lebih muda dariku, jadi aku juga punya cukup waktu untuk mempersiapkan segalanya untuknya," itu katanya. Awalnya menyakitkan, tapi kemudian aku bisa menganggapnya biasa saja. Yang lebih menyakitkan adalah ketika dia berusaha kembali dan mencoba menggali lagi kesempatan itu. Atau tiba-tiba datang dan bersikap oportunis. Tapi tiba-tiba saja aku ingat kalau malam ini Deano akan pergi ke Australia dan ingin mendiskusikan proyek penulisan yang ia kerjakan dengan Profesor Andrew. Andrew yang memintaku bertemu dengannya sebelum ia pergi ke Australia.
"Kami kan bisa diskusi via Skype," ujarku berusaha menolak ketika Andrew meneleponku.
"Temuilah sebentar, toh kau juga sedang ada di Bali. Pesawatnya malam, sedangkan ia hanya dapat tiket dari Jogja siang. Kalau kau enggan menemaninya, ajak saja makan sambil diskusi lalu bisa kau tinggal. Lagipula tidak ada salahnya kau bertemu kawan lama," jawab Andrew ringan. Kami memang sama-sama mahasiswa Andrew dulu, tapi soal apa yang pernah terjadi memang Andrew tak perlu tahu.
"Mmm.. Milo..."
"Hmm...," jawabnya sambil bergelung ke arahku. Ternyata Profesor Milo Park juga punya sisi pemalas.
"Nanti sore aku keluar sebentar ya," pamitku. Seketika itu ia membuka mata, memastikan aku serius.
"Ke mana?"
"Bandara, Andrew menyuruhku bertemu Deano membahas paper yang akan kami kerjakan."
"Deano?" Milo terlihat berpikir. Dia memang pernah bertemu Deano, bahkan mungkin sempat diskusi. Tapi kemudian reaksinya mengejutkanku. "Tidak."
"Tidak?" tanyaku mengklarifikasi.
"Tidak. Aku akan bilang Andrew kalau kau tak bisa menemuinya dan menyuruhnya mencari orang lain," kata Milo serius.
"Kenapa?" aku masih tidak mengerti. Milo diam saja, tidak menjawab, tapi wajahnya tampak kesal. Aku jadi bingung.
"Kenapa kau mau menemuinya?" tanya Milo setelah beberapa saat. Matanya masih terpejam, wajahnya masih kesal.
"Kalau bukan Andrew yang menyuruhku, aku juga tidak mau. Aku bahkan sudah beralasan macam-macam, tapi Andrew bilang aku perlu menemuinya, melihat struktur datanya."
"Kalian tidak bisa pakai Skype?"
"Aku sudah bilang itu pada Andrew, tapi dia bilang aku perlu menemuinya sendiri." Sejenak Milo berpikir mendengar jawabanku.
"Ok, aku akan menemanimu, lagipula aku tak ada kegiatan di sini," katanya.
Dan benar saja, Deano mengontakku setelah landing. Milo memutuskan menyewa sebuah mobil untuk kami pergi menjemput Deano ke Bandara. Aku lalu mengontak supir yang biasa mengantarku ke mana-mana selama ini, kebetulan ia supir langganan jadi cepat merespon kebutuhan kami.
Hari masih terang ketika kami sampai Bandara, Deano sudah siap di area penjemputan, jadi kami tak perlu menunggu lama. Dia tampak terkejut ketika kami menjemputnya. Katanya sebuah kehormatan dijemput oleh seorang Profesor seperti Milo Park.
"Aku hanya menemani Lagya, kok," katanya sambil merangkul pinggangku. Ok, seperti ini rupanya pacar yang posesif. Di mobil pun akhirnya Deano duduk di depan, sementara Milo duduk di belakang denganku. Mungkin saja Deano merasa kurang nyaman dengan sambutan kejutan ini, tapi aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Dan entah mengapa aku justru merasa senang dengan keadaan ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda
RomanceCerita tentang hubungan seorang mahasiswi dengan supervisor riset doktoralnya yang berkembang menjadi sebuah hubungan yang berbeda. Profesor yang tampan namun dingin ini ternyata cukup egois dan punya cara yang unik untuk mengenali dan mengenalkan p...