Brainstorm

63 13 0
                                    

Milo

Lagya cepat sekali tertidur, bahkan belum habis separuh film dia sudah bermimpi. Tampaknya ia mimpi indah karena ia tidur sambil tersenyum. Aku tak kuasa menahan tanganku membelai rambutnya. Rambut ikalnya agak berminyak, tapi tampak begitu hitam. Wajahnya masih sama seperti pertama kali kutemukan pingsan di dekat kamar apartemenku, tapi kali ini aku merasakan hangat ketika memandangnya, bahkan ketika ia tak tahu kalau aku memperhatikannya. 

Aku akui kalau aku bukan laki-laki romantis, aku bahkan tak tahu bagaimana caranya membuatnya mengerti kalau aku memperhatikannya. Cinta? Entahlah. Aku tak bisa mengatakannya sekarang. Kupikir aku hanya akan jatuh cinta satu kali, dengan Kalyana. Dulu aku selalu mengikuti apa maunya. Dia mengatakan pada semua orang kalau kami akan menikah, tapi aku diam saja meskipun apa yang ia katakan mungkin saja terwujud suatu saat nanti. Kay juga suka memasang foto kami di mana-mana, di ruangannya, di ruanganku, kamar tidurku, bahkan di samping wastafel kamar mandiku. Ia juga tempatkan foto-foto itu di media sosial, mengawasi semua gerakanku dan bahkan email yang masuk. Dia ingin seluruh dunia tahu tentang dirinya dan aku, padahal aku tak suka terlalu banyak orang tahu hidupku. Untung saja urusan kerja entertainment-ku tak terganggu. Aku berpesan betul pada agen-agenku untuk melindungi identitasku. Aku hidup dengan dua kehidupan yang berbeda. 

Aku berharap Lagya tidak demikian. Kulihat ia tak punya banyak media sosial, ia tak suka mengumbar kehidupan pribadinya, dan ia tidak curhat pada sembarang orang. Aku bahkan tidak melihat ia punya sahabat dekat seperti halnya perempuan-perempuan yang aku kenal. Lagya sangat mandiri dan independen. Tapi itu juga ancaman untukku yang posesif. 

Aku tersadar ketika Lagya menggeliat, mencari posisi yang lebih nyaman. Ia membuka mata sebentar, memastikan aku ada, lalu terpejam lagi. Ia tersenyum samar. Aku mencium keningnya, berharap ia akan tidur semakin lelap. Lalu tiba-tiba aku merasakan hal yang aneh dalam kepalaku. Aku merasa tidak cukup mencium keningnya saja, hingga hampir seluruh wajahnya kuciumi. Lagya tidak cantik, sama sekali tidak. Tapi sorot cerdasnya sangat menggugah. Aku bahkan bernafsu ketika melihatnya bekerja. Dan sekarang aku pun ingin lebih dari beberapa ciuman.

Aku segera beralih dari ranjang. Aku mandi. Aku berharap dinginnya air pancuran bisa menetralisir isi kepalaku. Cukup lama aku mandi. Lalu aku tidur di kursi pendek dekat meja yang biasa kupakai untuk menulis. Aku bisa mengamati Lagya tidur, tapi cukup jauh untuk bisa menjamahnya.

Aku tidur sekitar 3 jam, lalu terbangun karena hasrat. Ah, aku harus mengeluarkan keringat! Lalu aku berlari seperti biasa, membuat badanku lelah. Aku berlari ke pantai, tapi ternyata itu bukan pilihan yang tepat. Ada beberapa pasang manusia yang bercumbu di sekitaran pantai. Entah mereka memang tak tahu malu atau itu sudah biasa di sini. Hal itu justru membuatku semakin senewen. Sebenarnya aku bisa saja meminta Lagya tidur denganku, mungkin dia juga tak keberatan. Tapi entah mengapa aku tak sampai hati. 

Kali ini berbeda. Aku suka mencium Lagya, aku suka memeluknya, aku juga merasa nyaman ketika Lagya tidur di sampingku. Tapi aku tidak ingin buru-buru tidur dengannya. Aku ingin melindunginya dengan menunggu. Menunggu hingga hal itu memang pantas untuk dilakukan. Menunggu hingga kami berdua benar-benar siap dengan segalanya. Aku ingin memiliki sesuatu yang berarti dengan Lagya. Sesuatu yang tidak hanya sebatas fisik yang kasat mata. Sesuatu yang mungkin hanya bisa aku dapatkan dari Lagya. Apa mungkin itu cinta?

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang