Milo
Malam ini sangat menyenangkan, Lagya tampak bahagia, dan aku pun puas. Aku berusaha tidak banyak beredar di ruang pesta, menghindari percakapan yang tidak perlu. Lagipula entah mengapa aku merasakan lemas, badanku agak demam, dan mataku pedih. Biasanya aku begini kalau terserang infeksi. Mungkin juga aku terlalu lelah dengan kebiasaan tidurku yang amburadul akhir-akhir ini. Dengan senyap aku mundur dan menuju kamarku. Kepala rumah tangga yang akan membereskan pestaku seperti biasanya.
Kepalaku semakin berat seiring langkahku mendekati kamar. Aku berhenti sebentar, mengumpulkan pandangan mata yang sepertinya semakin membingungkan. Namun bukan semakin baik, kepalaku justru semakin berat. Tubuhku semakin lemas dan dinding yang kugapai terasa semakin menjauh. Aku sadar aku akan jatuh, tapi tak bisa menghindarinya. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Hanya gelap.
Lagya
Aku tak bisa memungkiri hati kecilku kalau aku terusik mendengar kata-kata Deano. Tanpa kusadari, aku melangkah masuk semakin jauh ke dalam rumah itu. Rumah yang tenang dan cukup besar, namun anehnya tidak ada foto si pemilik di seluruh dinding atau meja di rumah itu. Hanya beberapa lukisan atau hiasan dinding. Pesta ada di bagian depan rumah, sedangkan area privat ada di belakangnya. Aku nekat. Dan terkejut ketika melihat punggung yang aku kenali sebagai punggung Milo Park.
Aku sedang membuka mulut untuk memanggilnya, namun seketika aku sadar kalau langkah Milo tidak segesit biasanya. Ia melangkah pelan dan tidak stabil, seperti orang yang diserang vertigo. Aku tetap di belakangnya, mengikutinya, mengawasinya. Aku menjaga jarak. Cukup jauh untuknya menyadari kehadiranku, cukup dekat untuk segera membantunya jika ia butuh. Dan seketika itu secara refleks aku menopangnya ketika ia akan jatuh.
Tubuh Milo berat, tak heran dengan kebiasaannya jogging. Mungkin hanya 10% lemak di tubuhnya. Sisanya otot. Aku hampir tak bisa melangkah. Tubuhnya berat kutopang. Mungkin sekitar 4 menit kami terdiam. Milo masih dengan mata terpejam. Aku khawatir jika semalaman akan seperti ini. Aku sudah mulai gelisah. Tubuh Milo pun terasa panas. Keringatnya lembab, kulitnya kemerahan.
Lalu mata Milo bergerak, sedikit membuka, lalu kakinya melangkah pelan. Tangan Milo menggapai pegangan pintu terdekat. Lalu kami masuk. Mendekati ranjang dan kubantu dia berbaring. Aku harus melepas pakaiannya agar sirkulasi keringatnya lebih baik. Dia butuh itu agar demamnya turun. Aku mengesampingkan semua rasa maluku, aku hanya punya kewajiban menyelamatkan Milo. Dan bonusnya aku bisa menyaksikan sendiri bahwa Milo benar-benar sexy.
Milo
Ada rasa dingin menyergapku, aku tak peduli. Kerongkonganku sangat kering hingga tanganku bergerak menggapai apa yang biasanya berupa gelas dan air. Lalu tak lama kemudian aku bisa minum. Dan entahlah seusai itu. Aku lemas lagi. Gelap lagi. Aku mulai mengumpulkan kesadaranku ketika cahaya yang begitu terang dan hangat membelai kelopak mataku. Matahari pagi.
Hal pertama yang kulihat ketika aku membuka mata adalah langit-langit kamarku. Aku kenal sekali, ini kamarku di rumah, bukan di apartemen. Lalu kurasakan hangat di seluruh tubuhku, selimut. Tapi aku nyaris telanjang di bawahnya. Spreiku terasa agak lembab. Bekas keringat semalaman.
Aku agak terkejut melihat seseorang di samping kiriku. Ia berbaring tidak nyaman seolah memang tidak berniat tidur di sana. Ada gelas dan tempat air yang hampir habis di nakas sebelahnya, juga baskom bekas kompres. Aku merasa jauh lebih kuat. Aku bangun dan kuselimuti dia. Dia masih dengan pakaiannya semalam, tampak begitu lelah meski bahagia. Dan aku menahan sekuat tenaga seluruh keinginanku untuk menyentuhnya.
Aku sudah segar setelah mandi. Ada piyama di dekat ranjang yang sepertinya sudah disiapkan sejak semalam. Di ranjang masih ada gadis yang terlelap lelah. Hampir jatuh di pinggiran tempat tidur. Aku geser pelan ke tengah, tapi ia justru menggeliat ke arahku. Dan berbagai rasa berperang dalam hatiku ketika ia bergelung di dadaku. Dan entah bagaimana aku menjadi sangat mengantuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda
RomanceCerita tentang hubungan seorang mahasiswi dengan supervisor riset doktoralnya yang berkembang menjadi sebuah hubungan yang berbeda. Profesor yang tampan namun dingin ini ternyata cukup egois dan punya cara yang unik untuk mengenali dan mengenalkan p...