Lelah

76 14 0
                                    

Milo

Pengambilan gambar selesai tepat sebelum matahari terbenam. Aku sempat istirahat sejam setelah makan siang dan menyelesaikan diskusiku dengan Lagya. Beberapa orang tampak penasaran dengan apa yang kami bicarakan, tapi aku tak peduli. Aku menikmati berbincang dengan Lagya. Caranya mempertahankan pendapatnya membuatku berpikir, jarang ada mahasiswa yang mendebatku dengan dasar seperti Lagya mendebatku. Aku jadi mengerti mengapa kawanku menitipkan anak didiknya padaku. Kawanku tahu betul bahwa kami bisa menjadi partner bertukar pikiran yang saling menguntungkan. 

"Kamu ada acara malam ini?" tanyaku saat Lagya membereskan kertas-kertas dan bukunya. Ia menggeleng. "Tapi saya harus mengetik semua yang kita tulis," lanjutnya tenang. 

"Makanlah dulu, nasi kotak di sini tidak cukup mengembalikan kalori berpikirmu." Aku benar-benar berharap ia makan denganku. Wajahnya menyiratkan kelelahan, aku tak menyangkal.

Lagya

Prof Milo Park mengajakku makan. Terus terang aku lapar. Ia benar bahwa nasi kotak di lokasi sangat jauh dari syarat minimal kalori makan siang. Aku sudah menguras tenagaku untuk berpikir dan menulis, aku butuh makan yang layak. Atau tepatnya makan yang banyak. Entah apa yang kupikirkan, tapi kemudian aku merasakan kepalaku mengangguk. Aku akan makan dengan co-supervisor PhD tesis-ku yang sekaligus pria tampan bintang iklan. Rasa lapar menutupi rasa banggaku.

Rumah makan itu tidak bisa disebut restoran, hanya sebuah warung sederhana. Sekarang kami hanya berdua, orang-orang yang ia sebut agen sudah lama pergi sebelum pengambilan gambar selesai. Suasana di warung itu juga tidak penuh. Hanya orang satu demi satu bergantian keluar dan masuk. 

"Karena tempatnya tidak besar, kita bawa saja makanan pulang." ujarnya padaku. Aku hanya menurut saja. Dia memberiku beberapa pilihan menu terbaik dan membiarkanku memilih. Ia membeli beberapa jenis makanan yang membuatku heran, karena tubuhnya tidak seperti orang yang banyak makan. 

"Milo?" dan tiba-tiba terdengar suara perempuan yang lembut dari belakang punggungku. Dan kami pun menoleh. 

"Kay..." sapa Milo tenang, tapi tetap ada perubahan raut di wajahnya. Ia terkejut, tapi berhasil menutupinya. Lalu dengan canggung aku sadar kalau perempuan cantik itu melirik kepadaku.

"Oh ya, kenalkan ini Lagya, calon istriku," dan segera aku terdiam. Mencoba memahami kata-kata yang baru saja kudengar. Milo tampak datar saja memandangku, lalu tersenyum. Secara otomatis aku juga tersenyum, meskipun tak mengerti untuk apa. Aku mengulurkan tangan untuk menjabat tangan wanita itu, tapi Milo meraih tanganku dan menggandengku keluar. Aku seperti limbung, bingung, dan kacau dengan kejadian yang baru saja. Apa sebenarnya maksud semua ini?

Milo

Dari sekian banyak manusia yang ada di dunia, mengapa aku harus bertemu Kay? Aku muak harus bertemu perempuan dengan beragam muslihat itu. Melihatnya lagi membuatku nyeri, membuatku ingat dengan hal-hal yang sudah kulakukan untuknya namun justru berbalik sangat buruk untukku. Tapi mungkin aku juga perlu berterima kasih kepadanya, karena pengalaman buruk itu memacu diriku untuk mencapai prestasi tertinggi yang kunikmati saat ini. Dan dia juga pernah memberiku cinta.

Aku tidak sadar kalau tangan kiriku masih menggenggam tangan kanan Lagya. Telapak yang lelah namun hangat itu seakan pasrah saja dalam genggamanku. Ia tidak berontak, tidak protes, hanya mengikuti langkahku. Sampai kami ada di dalam mobil dan terdiam. Sampai kami di rumahku.

Lagya langsung menata makanan di meja. Setelah beberapa minggu sering bekerja bersama di sini, ia mulai terbiasa. Ia tahu di mana letak piring, sendok, dan gelas. Ia sering mencuci piring padahal aku punya mesin pencuci. Ia juga kadang menghabiskan persediaan buahku. Tapi kali ini, ia hanya menyiapkan satu alat makan dan menyajikan satu menu saja. 

"Kau janji menemaniku makan," kataku. Dia memandangku dengan tatapan lelah setelah hari yang berat. Aku juga yakin ia tahu kalau aku lelah. Secara psikologis. 

"Baiklah, tapi setelah itu aku pulang. Sudah hampir pagi," jawabnya lirih. Ia pasti sangat capek.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang