Lagya
Milo memang seperti ini. Kalau dia bilang harus selesai malam ini, ya memang harus selesai malam ini. Aku memang tidak mengantuk, tapi aku juga malas harus berdiskusi malam-malam begini. Milo mengajakku ke convenience store, membuatkan 2 gelas kopi dan 2 mie instan dalam gelas. Malam itu dingin, kopi dan mie cukup menghangatkan.
"Kau kenapa?" tanyanya ketika aku hanya diam menikmati kopi dan mie. Aku lapar. Aku belum mengganti janji makan yang kutinggalkan dengan makan sendiri. Aku hanya mengangkat bahu. "Kamu tahu aku tak suka kalau pertanyaanku tak dijawab."
"Siapa perempuan dan bayi yang kaugendong dalam foto di tabletmu?" kataku langsung. Milo menghentikan makannya.
"Kau melihat tabletku?" aku diam saja. "Di mana? Kapan?" aku masih diam. Lalu sepertinya Milo berpikir. Lalu dia melanjutkan makan dengan tersenyum pendek. Aku yang gantian keki.
"Kenapa kamu nggak jawab?" tanyaku. Dia melirikku dan tersenyum lagi. Dia tidak meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaanku dan membuatku menunggu sampai dia selesai makan.
"Kamu cemburu," katanya lirih. Masih tersenyum samar.
"Ini bukan soal cemburu atau tidak. Ini soal kamu jujur atau tidak."
"Kenapa kau tidak jujur saja dan bilang kalau kau cemburu," katanya. Menggoda. Yah, Milo kalau pun menggoda tetap dengan wajah serius dan intimidatif. Dia harus selalu dominan.
"Kenapa sekarang harus aku yang jujur?" jawabku sekenanya. "Ini soal kamu yang nggak jujur, bukan aku." Lalu Milo tertawa. Aku semakin keki. Memangnya aku cemburu? Kupikir tidak.
"Foto itu diambil beberapa bulan lalu saat aku pulang ke Seoul. Perempuan itu adikku, bayi yang kugendong itu keponakanku. Waktu itu suaminya sakit dan aku menjenguknya, kini suaminya sudah meninggal. Sekarang mereka ada di apartemenku. Sore tadi kujemput mereka di Bandara, itulah mengapa aku terlambat untuk makan malam kita. Kau juga tak mau jawab telpon atau pesanku. Padahal aku ingin kau bertemu mereka juga malam ini."
Aku terdiam mendengar penjelasan Milo. Tapi apakah kini Milo jujur? Aku bingung. Aku semakin bingung ketika jari-jari panjang Milo mulai membelai rambutku. Ia pun berbisik, "Lagya, aku senang kau cemburu, tapi ini merepotkan." Dan aku pun tak bisa menahan tawa.
Milo
Lagya cemburu. Salahku juga aku tak pernah menceritakan keluargaku. Wajar saja kalau dia terkejut dengan foto itu. Pose kami memang seperti keluarga muda. Ya, kami memang keluarga dalam foto itu, tapi bukan sebagai ayah-ibu-anak.
Aku senang Lagya cemburu. Entah mengapa hal itu menetapkan hatiku.
Aku mengantarnya pulang untuk mandi dan kuajak ia ke apartemenku sebelum berangkat ke kampus. Kami masih punya sedikit waktu sebelum jadwal kami pagi hari, jadi ia sempat sarapan di apartemenku. Ia juga berkenalan dengan adik dan keponakanku. Mereka belum sempat berbincang banyak karena memang waktunya tak ada. Kami berjanji akan pulang agak awal dan makan malam bersama.
Lagya
Sebenarnya aku merasa agak malu dengan sikapku kemarin. Aku sangat kekanak-kanakan. Entah mengapa kali ini Milo justru tampak senang. Ia bahkan mencium keningku saat aku akan turun mobil. Ini aneh karena biasanya ia tak suka menunjukkan kontak fisik di kampus. Jangankan kontak fisik, ia bahkan enggan terlihat seperti pasangan denganku. Milo memang aneh.
Beberapa hari kemudian semuanya kembali seperti biasa, hanya saja Milo yang lebih sering berkunjung ke rumahku meskipun hanya sebentar. Aku melihat banyak hal yang ia upayakan untuk Sunny, adiknya dan Ferio, keponakannya. Sunny membutuhkan pekerjaan, karena ia juga tak mau bergantung begitu saja pada kakaknya. Tapi Ferio masih terlalu kecil untuk bisa masuk playgroup.
"Mungkin Sunny punya keahlian yang bisa ia lakukan di rumah. Mungkin dia bisa membantumu proofreading untuk paper atau bahan-bahan kuliahmu. Dia pasti bisa, dia juga sarjana kan," kataku. "Dan gajilah sesuai standar."
"Ya, dia juga tetap bisa mengawasi Ferio," katanya. "Besok kau sibuk?"
"Tidak, kenapa?"
"Kita ajak Sunny dan Ferio makan di luar ya. Sunny ingin mengenalmu," katanya serius. Ya, aku juga ingin mengenalnya.
"Oh ya, kupikir kau tak begitu suka anak-anak, mengapa kau tetap berkeras merawat Ferio bersamamu?"
"Aku mulai melihat dunia dengan cara berbeda setelah bertemu denganmu," katanya pelan. Ia tidak memandangku, ia hanya melihat jauh ke depan. "Dan aku sadar bahwa hidupku jauh lebih beruntung dari Ferio. Ia sudah kehilangan ayahnya dan mungkin hanya aku harapannya."
Aku sadar bahwa sebenarnya Milo menyayangi keluarganya. Mungkin ia hanya tak menunjukkannya seperti kebanyakan orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda
RomanceCerita tentang hubungan seorang mahasiswi dengan supervisor riset doktoralnya yang berkembang menjadi sebuah hubungan yang berbeda. Profesor yang tampan namun dingin ini ternyata cukup egois dan punya cara yang unik untuk mengenali dan mengenalkan p...