Sunrise

66 15 0
                                    

Lagya

Aku terbangun. Mengumpulkan lagi potongan kenyataan yang bertubi-tubi, lalu sadar kalau aku tidak sedang berada di kamar hotel yang kupesan. Kepalaku agak pening karena aku tidur hampir pagi, setelah Milo bilang jawabanku sudah tidak relevan lagi dengan pertanyaannya. Aku tidur di ranjang besarnya, dia memelukku seperti terakhir kali aku bersama dengannya. Hanya saja kali ini aku merasa lebih nyaman. Rasa yang aneh kurasakan bersamanya. Lalu tiba-tiba terbersit pertanyaan, sejak kapan aku mulai merasakan untuk Milo? Dan pertanyaan itu pula yang membawaku kembali tertidur.

Aku terbangun lagi ketika hari sudah sangat siang, bedanya Milo sudah tidak ada di sampingku. Meski masih kabur, mataku berkeliling mencarinya. Dan kutemukan dia di meja tulis, memasang kacamata kerjanya, konsentrasi dengan laptopnya. Aku terkejut ketika tahu ia bekerja bertelanjang dada. Pengetahuanku akan tubuhnya yang sexy kudapatkan berkat upayaku merawatnya saat demam tahun lalu. Tapi melihatnya dengan sadar bertelanjang dada sensasinya berbeda.

"Kau sudah bangun?" tanyanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.

"Kau bekerja saat liburan?" tanyaku balik. Dan itu menarik perhatiannya. Terbukti ia mengalihkan pandangannya.

"Aku tidak suka pertanyaanku dibalas dengan pertanyaan," ujarnya serius. Yah, inilah Profesor Milo Park yang terkenal supra-cerdas, tampan, tapi dingin. "Ya, aku membalas email beberapa kolega dan mahasiswa, melanjutkan draft paper dan chapter book."

"Kau gila kerja," kataku sambil beranjak ke kamar mandi. Aku harus mengumpulkan lagi kewarasanku dan tidak membiarkan diriku seperti remaja mabuk kepayang. Aku sudah terlalu tua untuk itu.

"Kau mau ke mana?" tanya Milo melihatku membereskan tas dan sepatuku.

"Aku punya kamar hotel yang kusewa, koper pakaian dan barang-barang lainnya. Aku juga sudah punya tiket untuk kembali bekerja," jawabku. Kenapa rasanya jadi aneh ketika Milo bertanya seperti itu?

"Kau yang pindah kemari atau aku yang keluar dari sini?" Hal ini menjadi semakin aneh.

"Haruskah menjadi seperti itu?" tanyaku. Meskipun sebenarnya aku suka juga kalau salah satu dari kami pindah. Tapi pasti rasanya lebih aneh. "Aku akan tetap di hotelku dan kau tetap di sini. Kau bisa mengajakku pergi kalau kau mau, aku tak punya jadwal pasti untuk liburanku ini."

Dan seolah hari ini masih kurang kejutan, tiba-tiba aku seperti melihat Milo cemberut. Merajuk. Bibir merahnya mengumpul dan rautnya kecewa. Aku hampir saja tersenyum tapi kutahan.

"Aku bisa pakai sofa atau ekstra bed," katanya.

"Bukan soal itu, aku percaya padamu, aku hanya tak percaya diriku sendiri. Apalagi dengan kau berkeliaran shirtless begitu, hmm..." aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku benar-benar bisa gila.

"Kenapa?" kini bibir cemberut itu mulai terurai dan menyembunyikan senyuman. Ia bahkan beranjak dari kursinya dan bergerak pelan ke arahku. Aku mulai was-was.

"Oh, come on.. stay where you are.." ucapku lemah.. tapi Milo seolah menggoda dengan gayanya. Oh, aku benar-benar lemah ketika Milo menggiring kembali ke ranjang.

"No, I want to stay here.." dan ia menekankan kata terakhir. "With you."

Setelah berdiam beberapa saat, Milo berbisik di telingaku, "Kamu cemburu dengan pekerjaanku? Itu yang membuatmu ingin pergi?"

Aku tersenyum. "Mungkin saja. Tapi yang jelas aku tak bisa membiarkan diriku di sini denganmu sepanjang hari."

"Aku tidak berbahaya, aku juga takkan memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan."

"Apa kau selalu dominan?" tanyaku takut-takut.

"Menurutmu?"

"Aku harus kenal kamu dulu untuk bisa menjawabnya," kataku.

"Kau akan punya banyak waktu untuk itu," dan kalimat itu menjadi samar ketika bibir Milo kembali menunjukkan fungsinya di bibirku.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang