Nyeri

81 12 0
                                    

Milo

"Kay itu mantanku, yang hamil dengan sepupuku," rasanya masih nyeri mengucapkan kata-kata itu meskipun kini aku lebih mudah mengabaikannya. "Kami pacaran putus-sambung sejak kuliah master. Dia juga yang mendorongku segera menyelesaikan PhD, lalu mengajar. Dia tidak suka aku melakukan kerja hiburan."
Kukumpulkan kekuatan untuk tetap tegar seolah hal itu cuma cerita fiksi. "Lalu beberapa minggu yang lalu dia datang lagi memintaku menikahinya. Dia hamil dan putus asa."

"Mengapa sepupumu tak menikahinya?" tanya Lagya. Rautnya tampak bingung. Keningnya berkerut.

"Sepupuku sudah punya tunangan." Jawabku masih berusaha tenang.

"Kalau sepupumu punya tunangan, berarti ia selingkuh dengan Kay?"

"Tidak sesederhana itu. Sepupuku mengaku tidak mencintai tunangannya, mereka dijodohkan. Tapi Kay tahu kalau sepupuku sudah mencintainya sejak lama. Kurasa Kay memanfaatkannya."

"Memanfaatkannya?" Lagya bingung.

"Kay lelah menungguku, ia ingin aku segera menikahinya. Ketika ia tahu dirinya hamil, dia berusaha memanfaatkannya agar aku yang bertanggung jawab. Aku mencintainya, tapi tak cukup besar untuk turut menyayangi anak yang dikandungnya. Aku menganggapnya merebut cinta kami berdua."

"Prof Milo Park, aku tidak menyangka kau sangat kekanak-kanakan." Lagya menggeleng-gelengkan kepalanya hampir tidak percaya. Dan aku takjub dengan keberaniannya menyebutku kekanak-kanakan. "Kupikir kau pria dewasa yang sangat cerdas dan rasional, tapi tak kusangka..."

Aku jengkel dengan tanggapannya. Sebenarnya ada di pihak siapa sih dia? Bukannya semestinya ia mendukung dan menghiburku?!

"Lalu pikirmu apa yang mestinya kulakukan?" tanyaku marah. Tapi tampaknya Lagya menanggapi pertanyaanku dengan tenang.

"Kalau kau merasa dikhianati, maafkan lalu tinggalkan. Kalau kau merasa dicintai dengan perbuatan nekat Kay, maka nikahi dia. Atau jika kau ingin memberinya pelajaran, tunjukkan bahwa kau bahagia meski tanpa dia."

"Aku sedang menunjukkan kalau aku bahagia dengan orang lain!" teriakku. Aku sudah tak sabar lagi. Harapanku akan penghiburannya sudah pupus. Hangus.

"Tapi bukan dengan pura-pura!" balas Lagya tak kalah keras. "Kalau memang kau masih juga tak punya pacar, entah memang kau yang pemilih, atau kau sendiri tidak pernah move on." Lalu Lagya beranjak. Dia tampak marah. Sangat marah.

Mahasiswa yang kubimbing kali ini perempuan kurang ajar. Lagya. Ya, Lagya adalah mahasiswi kurang ajar. Tapi mungkin saja aku adalah profesor yang lebih kurang ajar. Mengaku-aku mahasiswa bimbinganku adalah calon istriku. Entah mengapa aku mengatakannya, tapi sepertinya tadi aku tak punya banyak pilihan. Aku hanya lelah dan mengikuti emosiku saja. Aku merasa sebagai pengecut. Dan seorang Milo Park telah memilih jalan yang salah. 

Sekarang aku berbaring di tempat tidur sederhana yang memang kusediakan untuk mahasiswa yang meminjam rumah belajar ini. Ada rasa tidak nyaman, tapi ini sudah cukup untuk sekedar istirahat sejenak untuk mahasiswa yang sedang studi. Aku mulai melamun, berharap ini akan membawa kantuk. Lagya masih bekerja, aku samar bisa mendengar gerak-geriknya. Mestinya aku menemaninya, bersiap sedia jika ia punya pertanyaan. Entah mengapa juga aku justru ikut kemari dan tidur di sini. 

Lagya juga membuat teh panas, tercium aroma melati yang menenangkan. Aku ingin keluar, bergabung dengan kesibukannya, atau menambah pekerjaan untuknya. Aku tergoda untuk mengganggunya. Membuat Lagya mengeluarkan tatapan jengahnya yang entah mengapa cukup menghiburku. Aku ingin Lagya memperhatikanku, bukan semata-mata bimbinganku untuk menyelesaikan beberapa papernya. Dan entah mengapa aku mulai merasa nyaman dengan perhatian Lagya. Aku suka melihat Lagya memasak di dapurku. Aku tenang tahu Lagya ada di sekitarku. Dan aku mulai sadar tugas-tugas yang kuberikan untuk Lagya mulai tak sesuai dengan tujuan awal. Aku ingin Lagya sibuk dan selalu membutuhkanku. Dan ini berarti satu hal.

"An, kupikir Lagya sudah siap untuk defense. Tinggal tunggu papernya published. Aku sarankan kau menghubungi Profesor Nilsen untuk salah satu pengujinya. Katakan saja aku yang merekomendasikan beliau, beliau akan setuju," kataku di telepon. Aku berusaha untuk terdengar tenang seperti biasanya. 

"Lalu kau?" tanya suara di seberang. "Kau tidak mengujinya?"

"Aku punya conflict of interest dengannya sebagai penguji. Aku menulis di salah satu papernya. Maaf An, kalau aku bertindak terlalu jauh." 

"Milo, ini seperti bukan kamu. Apa anak didikku membuat masalah?" kali ini suara Andrew mulai terdengar khawatir. 

"Nggak, dia baik-baik saja. Mungkin justru aku yang membuat masalah." Lalu kuakhiri percakapan kami agar tidak lagi panjang dan memancing pertanyaan. Dan kurasakan sangat nyeri ketika aku menekan tanda "akhiri percakapan" di layar ponselku.

BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang