Jilid 59

1K 20 1
                                    

SI WAJAH EMPAT ARWAH BIAN KIE LIANG

ONG TIONG YANG jadi tertarik, ia memperhatikan orang baru masuk itu, ialah seorang lelaki yang berpakaian seenaknya dan tidak teratur, rambutnya walaupun dikonde, namun banyak anak rambutnya yang terurai.
Usia orang mungkin telah mencapai enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan mukanya cekung dengan mata yang dalam dan bola mata yang bersinar tajam.
Waktu melangkah masuk orang ini tidak memperhatikan keadaan disekelilingnya, dengan seenaknya ia duduk di sebuah kursi dan menepuk meja cukup keras:
„Mana pelayan....?" tegurnya dengan suaro yang nyaring.
Seorang pelayan cepat-cepat menghampiri untuk menanyakan pesanan orang tersebut, oramg itu memesan lima kati daging dan dua kati arak.
Kemudian sambil menantikan datangnya makanan yang dipesannya, orang tersebut telah ber-nyanyi2 perlahan, sikapnya memang seperti seenaknya dan tidak memandang sebelah mata pada sekelilingnya, tidak mengambil perhatian pada orang2 yang berada didalam ruang rumah makan tersebut.
Disamping itu juga tidak mengacuhkan keadaan tamu-tamu lainnya.
la seperti berada hanya seorang diri ditempat tersebut.
Ong Tiong Yang yang diam2 memperhatikan keadaan orang tersebut, dan Ong Tiong Yang memperoleh kesan tidak begitu menggembirakan, karena tampaknya orang tersebut memiliki sikap yang ugal-ugalan.
Sambil menundukkan kepala dan dengan suara yang perlahan, Ong Tiang Yang bertanya kepada Kiang Bun: „Siapa orang itu?"
Kiang Bun tetap diam dengan menunduk dalam, karena dia seperti tidak ingin dilihat oleh orang tersebut.
„Dia she Bian bernama Kie Liang, kata Kiang Bun dengan suara yang perlahan. Dan sifatnya sangat jahat sekali, aneh dan ugal2an. Tindakannya selalu sekehendak hatinya, jika ia tengah senang, ia tidak membinasakan orang, tetapi jika ia tengah marah dan mendongkol, dia akan membinasakan siapa saja tanpa memperdulikan siapa orang itu. Dia merupakan dedengkot iblis yang menguasai propinsi Hunan, kepandaiannya memang tinggi sekali dan sulit dicari tandingannya."
„Hemm...., jika memang demikian dia bukan manusia baik2," kata Ong Tiong Yang,
„Tepat .. , ia memang bukan manusia baik2 tidak ada urusan kejahatan yang tidak dilakukannyaa bahkan orang2 dari jalan hitampun merasa jeri untuk bertemu dia......!"
„Apakah kepandaiannya memang demikian tinggi sehingga tidak ada orang yang bisa menadinginya......?", tanya Ong Tiong Yang.
„Itulah yang menjadi keheranan buatku, karena beberapa tokoh sakti dari rimba persilatan, seperti beberapa orang Cianpwe, dari Siauw Lim dan Bu Tong, pernah mengeroyok dan bertempur dengannya namun iblis ini bisa mololoskan diri dan tidak berhasil dirubuhkan........"
Dia bergelar sebagai Sie Hun Bian atau Wajah Empat Arwah.
Maka kepandaiannya memang seperti juga merupakan dari kepandaian empat orang tokoh sakti, seperti yang dibuktikannya walaupun dikeroyok beberapa orang Cianpwe dari Siauw Lim Sie dan Bu Tong, ia tidak berhasil dirubuhkan......!"
„Jika memang demikian halnya, tentu ia malang-melintang tanpa memperoleh tandingan selama ini... !' kata Ong Tiang Yang...... !"
Kiang Bun menganguk lagi.
„Benar.... dan selama itu pula ia tidak pernah memandang sebelah mata pada orang2 rimba persilatan, sikap maupun perbuatannya selalu seenak hatinya saja, ia tak perdulikan apakah perbuatannya akan disenangi atau dibenci orang tetapi jika ia merasa senang tentu akan dilakukannya segala apapun juga..........!"
„Ilmu dan kepandaian apa yang paling diandalkannya....?" tanya Ong Tiong Yang yang tertarik ingin mengetahui perihal diri Sie Hun Bian.
„Telapak tangannya yang mengandung maut, setiap kali telapak tangannya itu digerakkan, tentu lawannya bisa terluka parah arau terbinasa....... selama ini kesaktian telapak tangannya itu memang belum memperoleh tandingan!",
„Hemm..., sekarang ia berada disini tentu ingin melakukan sesuatu, bukan ?" tanya Ong Tiong Yang.
„Mungkin, karena biasanya ia jarang meninggalkan tempatnya dihutan.........?"
Baru saja Kiang Bun berkata begitu, disaat itulah tampak pelayan telah menghantarkan pesanan Sie Hun Bian.
Pelayan itu meletakkan pesanan tersebut diatas meja.
Kiang Bun berkata dengan suara yang perlahan: „Ia memang sangat kuat minum arak dan makan daging bakar." dan Kiang Bun mengangkat kepalanya.
Cepat sekali ia menundukkan kepalanya kembali.
Waktu itu tampak Sie Hun Bian berkata dengan suara yang parau kepada sipela yan: „Apakah engkau telah menimbangnya dengan benar bahwa berat daging ini lima kati?"
Pelayan itu tercengang sejenak, tetapi kemudian ia tersinggung.
„Kami telah membuka rumah makan ini puluhan tahun lamanya, dan selama itu kami memiliki nama yang baik. Untuk apa kami mencatuti timbangan daging ini, bukankah kelak jika kami menyebutkan harganya Toaya akan membayarnya?"
Muka Sie Hun Bian jadi berobah, dia menaguwasi dengan bola mata yung merah kepada sipelayan.
„Aku hanya bertanya saja, mengapa engkau jadi tersinggung begitu? bentaknya galak.
„Aku hanya menjelaskan kepada Toaya bahwa pesanan Toaya memang telah kami timbang dengan benar" kata sipelayan kemudian.
Tetapi Sie Hun Bian jadi tidak senang, ia telah memandang sekian lama pada pelayan itu tanpa mengucapkan sepatah katanpun juga. Tetapi waktu sipelayan hendak berlalu karena merasa tidak enak hati didiami begitu saja oleh Sie Hun Bian, mendadak Bian Kie Liang telah berkata dengan dingin: „Diam ditempatmu, jangan pergi dulu.... !"
Pelayan itu jadi merandek, kemudian ia tertawa sinis sambil katanya : „Aku tidak bisa melayani Toaya terus menerus, karena masih banyak yang harus kukerjakan dibelakang.... !"
Dan pelayan itu telah memutar tubuhnya untuk melangkah pergi.
Sie Hun Bian mengeluarkan suara dengusan yang dingin.
Tahu2 ia telah menggerakkan tangan kanannya, tanpa menyentuh pelayan itu ia berhasil menghentak rubuh pelayan tersebut yang terbanting diatas lantai.
Keruan saja pelaysan tersebut jadi mengeluarkan suara teriakan kesakitan.
Dengan penuh kemarahan pelayan itu merangkak bangun.
Saat itu Sie Hun Bian telah berkata dengan stuara dingin: „Jika engkau bersikap kurang ajar lagi, akan kuambil jiwamu........!"
Dan Sie Hun Bian mulai memakan dagingnya, sambil sekali2 meneguk araknya.
Pelayan itu jadi berdiri dengan sikap serba salah.
la memang marah didalam hati, tetapi tidak berani memperlihatkan kemarahannya itu karena mengetahui bahwa tamunya ini galak sekali. Untuk berdiri terus ditempatnya itu membuat sipelayan jadi tidak enak hati, karena ia mendongkol sekali dan memang tidak biasanya melayani terus menerus pada seorang tamu.
Banyak sekali pekerjaan yang harus dikerjakannya.
Tetapi untuk berjalan meninggalkan meja itu, ia kuatir dirinya akan dibanting pula oleh tamunya yang galak tersebut.
Waktu itu tampak Sie Hun Bian telah tertawa tawar, sambil mengunyah daging, ia telah berkata : Engkau masih tersinggung ?"
Pelayan itu tersenyum pahit.
„Tidak !" katanya sambil menggelengkan kepala dengan sikap serba salah.
„Hemmm......., bagus.......! Jika memang engkau tidak merasa tersinggung lagi, sekarang engkau httarus menuruti perintahku !"
Pelayar itu diam saja, mengiyakan dan juga tidak membantah.
„Minumlah arak ini........!" kata Sie Hun Bian sambil,mendororg guci araknya.
„Toaya.....aku.... aku....!" pelayan itu benar benar jadi serba salah.
„Minum kataku.... atau engkau hendak kubanting lagi ?"
Muka pelayan itu jadi berobah.
„Ini. . . ini mana boleh... aku hanya pela yan disini... !"
„Tetapi aku yang perintahkan engkau meminum arak tersebut !"
„Tetapi Toaya. . ."
Namun belum lagi habis suara pelayan itu, justru tangan Sie Hun Bian telah, bergerak dan ...... Buk. ..!" tubuh pelayan itu terbanting lagi keras, walaupun Sie Hun Bian menggerakkan tangannya itu tanpa mengenai tubuh sipelayan, namun ia berhasil membanting pelayan itu dengan mengandalkan tenaga sinkangnya.
Keadaan demikian telah membuat pelayan itu tambah kesakitan.
Sambil merangkak bangun pelayan itu telah memaki-maki, karena ia-sudah tak bisa menahan kemendongkolan hatinya lagi.
Sie Hun Bian berkata dengan suara yang tawar: „Engkau berani memakiku'?" tanyanya dengan mata yang mendelik lebar-lebar.
Pelayan itu tetap memaki, bahkan ia bilang : „Hemmm......, engkau seenaknya saja mem-banting2 diriku. memangnya aku digaji olehmu ......?. Aku hanya bertugas melayani tamu, bukan untuk dijadikan barang bantingan.
Muka Sie Hun Bian jadi berubah, ia menggerakkan tangan kirinya, mengebut dengan gerakan yang seenaknya.
Tetapi akibat tenaga kebutan tangannya itu justru tubuh pelayan tersebut terbanting lagi sehingga hidungnya menghantam lantai dan darah juga mengucur deras dari hidungnya, giginya rontok satu, mulutnya jadi tebal njembengkak akibat membentur lantai.
Keruan pelayan itu jadi kalap dan memaki kalangan kabut, tampaknya Sie Hun Bian tidak perduli, ia tertawa mengejek sambil mengunyah daging bakarnya lagi.
„Jika engkau masih memaki tidak keruan aku akan menyiksa engkau lebih berat lagi.........!" kata Sie Hun Bian dengan suara mengancam.
Pelayan tersebut sebetulnya bendak memaki terus, teapi waktu itu telah datang kasir rumah makan tersebut, yang membungkuk memberi hormat sambil perintahkan pelayan agar pergi masuk kedalam.
„Maafkan kekurang ajaran pelayan kami tuan!" kata kasir itu.
„Memandang mukaku, kiranya tuan mau memaafkan kekurang ajarannya itu......!"
Sie Hun Bian memang memiliki adat yang aneh, bukannya jadi senang, justru dia jadi tersinggung, karena melihat pelayan itu diperintahkan masuk oleh sikasir rumah makan itu.
Dengan menggerakkan tangan kanannya, tubuh kasir itu dipukul terpental ketengah udara.
Perbuatan Sie Hun Bian memang keterlaluan dan Ong Tiong Yang tidak bisa berdiam diri terus.
Ketika melihat tubuh kasir rumah makan itu meluncur akan terbanting, Ong Tiong Yang melompat bangun dari duduknya. la menggerakkan hudtimnya mengibas, dan tenaga luncuran dari tubuh si kasir lenyap.
Dengan mempergunakan tangan kirinya, Ong Tiong Yang mencekal baju kasir itu, dan menurunkan ke lantai sehingga kasir itu tidak sampai terbanting.
Muka Sie Hun Bian jadi berobah waktu melihat seorang tojin muda mencampuri urusan nya, tetapi kemudian ia memperdengarkan suara tertawa dinginnya dan melan jutkan makan daging bakarnya.
Ong Tiong Yang setelah menolongi kasir rumah makan, duduk kembali ditempatnya seperti juga tidak terjadi sesuatu apapun juga.
Kasir rumah makan itu berdiri dengan kaki yang gemetar keras dan wajah yang pucat, karena tadi dia nyaris terbanting dilantai dengan keras kalau saja tidak ditolong oleh Ong Tiong Yang.
---oo0oo---

Pertikaian Tokoh - tokoh Persilatan (Hoa-san Lun-kiam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang