Jilid 55

702 22 0
                                    

TIGA DEWA DARI GUNUNG KAUW (SAM SIAN KAUW SAN)

SUATU PAGI, disaat Cie Thio tengah bermain di pekarangan depan kuil, saat itu pintu kuil di ketuk keras oleh seseorang.

Cie Thio membukakan pintu dan dia melihat tiga orang Tojin (pendeta yang memeluk agama To) tengah berdiri dimuka pintu dengan mulut tersenyum lembut.

„Mana gurumu.......?" tanya salah seorang tojin itu dengan suara yang sabar,
Cie Thio menanyakan siapa ketiga tamu tersebut, yang dijawab bahwa mereka adalah Sam Sian (tiga dewa) dari gunung Kauw.

Ketika perihal kedatangan ketiga orang pendeta agama To itu diberitahukan kepada gurunya, pendeta yang menjadi ketua kuil tersebut, menyambutnya dengan manis kedatangan ketiga orang tojin tersebut.

Rupanya antara guru Cie Thio dengan ke tiga tojin itu mengikat tali persahabatan.

Ketiga tojin itu masing2 bergelar Sam Kie Cinjin, Sam Lu Cinjin dan Sam Pie Cinjin. Mereka merupakan pendekar-pendekar sakti yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi sekali.

Memang telah cukup lama ketiga pendeta agama To itu berkelana dalam rimba persilatan dan selama itu mereka melakukan perbuatan2 mulia, sehingga nama mereka jadi terkenal dan memperoleh julukan Sam Sian Kauw San.

Saat itu tampak Cie Thio yang tengah mempersiapkan minuman untuk ketiga tamu gurunya telah di-usap2 kepalanya oleh Sam Kie.

Kata Sam Kie dengan suara yang sabar: „Anak ini balk sekali untuk mempelajari ilmu silat, dia memiliki tulang yang baik dan bakat yang bagus, savang sekali engkau Hwee Liang Siansu tidak memiliki kepandaian silat, sehingga muridmu ini tak mungkin memperoleh petunjuk mengenai ilmu silat.

Guru Cie Thio yaitu Hwee Liang Siansu tersenyum manis, sambil katanya: „Tidak selamanya ilmu silat memegang peranan penting.

Jika memang anak itu mau mempelajari agama Budha dengan baik, itupun baik dari segalanya, karena jiwanya telah terdidik dengan baik dan juga menyebabkan dia bisa mengenal dunia sebagaimana adanya.

Namun Sam Kie telah menggelengkan kepalanya ia berkata perlahan: „Bukan hanya itu saja. Ilmu silat bukan hanya terbatas pada ilmu untuk berkelahi, tetapi justru ilmu silat membutuh latihan dan semangat murni untuk menggembleng orang yang bersangkutan memiliki Sinkang yarg sejati. Dengan memiliki ilmu silat yang murni maka orang itu akan bisa menjaga diri dari segala gangguan yang tak baik bahkan bisa memanfaatkan ilmu silatnya untuk banyak melakukan perbuatan2 mulia menolong silemah yang tertindas....... .!"

Hwee Liang Siansu tersenyum lebar, ia menyahuti: „Tetapi dengan agama Buddha, anak inipun bisa banyak melakukan perbuatan2 luhur. .....!"

Sam Kie menggeleng cepat, „tidak mungkin.......!" katanya berulang kali.

„Mana mungkin jika menghadapi seorang penjahat, hanya mengandalkan kelihayan lidah untuk ber-kata2 saja kurang begitu kuat untuk mengembalikan manusia jahat itu kejalan yang ...... maka justru ilmu silat yang tinggi bisa membuat para penjahat seperti itu menjadi jera dan kapok. .....!"

Hwee Liang Siansu mengangguk perlahan.

„Ya apa yang dikatakan oleh Cinjin benar adanya, katanya. Dan juga memang anak ini memiliki bakat ilmu silat, sayangnya justru Lolap tidak memiliki kesanggupan untuk mendidiknya dibidang itu. Jika memang Sam-wie Cinjin bersedia untuk bermurah hati, membantu mendidik anak ini untuk berlatih iimu silat tentu hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan sekali, bukan?"

„Namun ketiga pendeta agama To itu telah menggeleng hampir berbareng sambil katanya: „Tak mungkin........sayangnya hal itu tak mungkin."

Kami hanya diperbolehkan menurunkan kepandaian kami kepada murid2 kami yang memeluk agama To....... diluar dari itu, kami tidak diijinkan untuk menurunkan kepandaian kami kepada siapapun juga ........!"

„Sayang sekali," kata Hwee Liang Siansu.

„Itulah nasib-si Cie Thio yang buruk dan tidak memiliki keberuntungan yang baik !''

Semuanya tertawa.

Sedangkan Cie Thio kembali ke kamarnya.

Namun kata2 Sam Kie tadi telah dipikirkannya, mengganggu sekali hati nya.

Ia tertarik sekali memikirkan kata2 Sam Kie Cinjin.

Memang hati Cie Thio ingin sekali mempelajari ilmu silat, karena ia juga jadi terpikir mengenai kematian ayahnya.

Jika saja ia memiliki kepandaian ilmu silat, bukankah ia bisa melindungi ayahnya dan ayahnya itu tidak sampai meninggal dunia, sehingga kini ia hanya hidup seorang diri?
Itulah pemikiran dari seorang anak yang mash kecil, dan ia belum bisa berpikir lebih luas lagi.
Tetapi walaupun demikian, Cie Thio memang telah tertarik sekali ingin mempelajari ilmu silat. Maka dari itu, ia telah mengambil keputusan, jika Hwee Liang Siansu gurunya untuk mempelajari agama Buddha itu mengijinkan ia mempelajari ilmu silat, maka ia bermaksud untuk mempelajari ilmu silat.
Sayangnya justru saat sekarang ini Sam Kie Cinjin mengatakan, pandeta itu tidak bisa menurunkan kepandaiannya kepada orang yang bukan dari penganut agamanya.
Tetapi Cie Thio yakin, disamping Sam Kie Cinjin sebagai seorang yang mengerti ilmu silat tentu banyak terdapat jago2 silat lainnya, yang bisa diangkat menjadi gurunya.
Maka tekadnya semakin bulat, ia ingin berusaha untuk dapat mempelajari ilmu silat.
Keesokan malamnya sengaja Cie Thio menemui Hwee Liang Siansu.
la mengemukakan keinginannya itu.
Dan iapun menyatakan maksudnya hendak mengangkat seseorang menjadi guru silatnya.
„Siapa ?" tanya Hwee Liang Siansu dengan sabar.
Tetapi Cie Thio menggelengkan kepalanya.
„Sampai sekarang ini tecu masih belum mengetahui, tetapi jika memang suhu mengijinkan, kelak jika tecu cari itu, yang memang memiliki kepandaian tinggi, tentu tecu telah mengetahui bahwa suhu tidak menentang kalau saja tecu mengangkat orang itu men jadi guru tecu untuk mempelajari ilmu silat .........!"
Hwee Liang Siansu tersenyum, iapun berkata dengan sabar : „Cie Thio, engkau ketahuilah bahwa mempelajari ilmu silat itu tidak mudah, karena biasanya, setiap orang yang mempela jari ilmu silat, tentu akan memiliki watak dan sifat yang berlainan dengan kita-kita yang menekuni pelajaran agama.
Maka dari itu, aku belum bisa memutuskan menerima atau tidak keinginanmu itu.
Engkau berpikirlah dua hari lagi coba engkau renungkan, apakah memang engkau ber-sungguh2 hendak mempelajari ilmu silat atau memang itu hanya dorongan nafsu belaka untuk memiliki kepandaian silat........!"
Cie Thio mengiyakan dan dia pamitan mengundurkan diri dari hadapan gurunya.
Kemudian didalam kamarnya ia memikir kan dengan baik2 keinginanaya itu.
Malah Cie Thio telah berpikir jauh sekali, jika memang ia masih menjadi murid Hwee Liang Siansu, sulit baginya untuk keluar dari kuil ini dan mengangkat orang lain menjadi gurunya untuk mempelajari ilmu silat. Maka dari itu ia telah mengambil keputusan, yang nekad, yaitu hendak melarikan diri dari kuil.
Tetapi, waktu itu justru Cie Thio juga berpikir, jika ia melarikan diri dari kuil, laIu ia hendak pergi kemana ? Inilah yang menyusahkan hatinya.
Maka ia tidak bisa mengambil keputusan yang cepat.
Setelah mempertimbangkan selama tiga hari tiga malam, keputusan Cie Thio jadi bulat, ia akan meninggalkan kuil ini secara diam2.
Tanpa pamitan lagi dari Hwee Liang Siansu dimalam yang dingin dan gelap, Cie Thio meninggallkan kuil secara diam2.
Apa yang dilakukannya itu hanya merupakan sebuah kenekadan dari seorang anak kecil belaka. la, rela mempelajari agama yang diajarkan oleh gurunya, namun justru hatinya malah hendak mempelajari ilmu silat.
Maka keinginannya yang terakhir itu lebih kuat, yang mendorongnya melakukan tindakan nekad seperti itu.
Dan dengan nekad, walanpun masih berusia belum enam tahun, Cie Thio telah meninggalkan kuil-itu, dan ia menyerahkan pada nasib apa yang akan terjadi
Setelah melakukan perjalanan empat hari, maka Cie Thio tiba disebuah perkampungan yang tidak begitu besar.
la tidak memiliki uang, maka ia tidur di-kuil2 rusak atau juga bermalam diemperan rumah penduduk.
Cie Thio tidak mengetahui harus pergi kemana, karena ia melarikan diri dari kuil Hwee Liang Siansu tanpa mempunyai arah tujuan.
Keadaan seperti itu memang membingungkan Cie Thio, apalagi dihari keempat itu ia mu lai tersiksa oleh rasa lapar, sedangkan disakunya sama sekali tidak memiliki uang pembeli makanan.
Untung saja ada seorang pengemis kecil, yang melihat keadaan Cie Thio, jadi merasa kasihan dan telah mengajaknya untuk mengemis sisa makanan pada sebuah rumah makan.
Dan dari hasil mengemis itu, Cie Thio tidak sampai terlalu menderita oleh lapar.
---oo0oo---

Pertikaian Tokoh - tokoh Persilatan (Hoa-san Lun-kiam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang