Jilid 3

2.2K 40 0
                                    

Waktu itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, menikung beberapa jalur jalan, kemudian dia berhenti disebuah persimpangan jalan.

"Kemana aku mau pergi ?" pikir Ang-toa sesaat kemudian. "Atau lebih baik aku pergi tidur di kuil tua itu saja...!" dan setelah berpikir begitu Ang-toa menuju ke pintu kota sebelah barat, dia telah menghampiri sebuah kuil tua yang rusak disana-sini tidak terawat lagi. 

Dan Ang-toa memasuki kuil itu, lalu merebahkan tubuhnya di lantai di samping meja sembahyang yang sudah tidak terurus itu.

Kali ini Ang-toa dapat tidur dengan nyenyak, karena tidak ada orang yang mengganggunya.
Tetapi menjelang sore hari, Ang-toa tersadar dari tidurnya, dia mendengar suara langkah-langkah kaki kuda yang tengah berlari mendatangi kearah kuil itu.

Ang-toa menggeliat dan kemudian duduk, dia mendengar derap langkah kaki kuda itu berhenti dan seseorang telah memasuki kuil rusak itu.

Ang-toa segera dapat melihat orang itu seorang siucai (pelajar) yang berpakaian rapih sekali. Usia siucai itu mungkin baru tiga puluh tahun, dia membawa pedang di punggungnya.

Siucai itu juga rupanya telah melihat Ang-toa, maka dia telah berkata : "Hei pengemis kecil, inikah kota-Bua-siong-kwan?"

"Berapa biji matamu, sehingga seenakmu saja memanggil aku pengemis kecil ?" balik tanya Ang-toa tanpa menyahuti pertanyaan si siucai.

"Heeh!?" siucai itu jadi tertegun, dia jadi kaget ditegur begitu oleh Ang-toa, kemudian katanya dengan mendongkol : "Sudah tentu biji mataku sepasang ! Apakah salah jika aku memanggilmu dengan sabutan pengemis kecil ?"

"Aku bukan pengemis !" menyahuti Ang-toa dengan mendongkol.

"Tetapi...pakaianmu kotor dan mesum, keadaanmu dekil sakali, bagaimana mungkin engkau tidak mengakui dirimu sebagai pengemis !"

"Walaupun keadaanku kotor dan dekil, tetapi aku tidak pernah minta makan kepadamu!!" menyahuti Ang-toa dengan sengit.

Pelajar itu jadi tertegun lagi, tetapi kemudian dia telah tertawa keras, tertawa karena dia merasa lucu hari ini bisa bertemu dengan seorang anak lelaki kecil memiliki sifat seperti Ang-toa.

"Lalu panggilan apa yang sekiranya cocok untuk dirimu ?" tanya pelajar itu kemudian.

"Apa saja...bukankah engkau bisa memanggilku dengan nama engko kecil atau anak kecil, ataupun lebih pantas dari pada engkau memanggilku dengan sebutan sebagai pengemis kecil...!"

"Jika memang demikian, baiklah !" kata pelajar itu mengalah, "Engko kecil, benarkah kota ini kota Bun-siong-kwan?"

"Benar !" menyahuti Ang-toa.

Pelajar itu jadi agak canggung, karena Ang-toa hanya menyahuti sepatah saja pertanyaannya itu.

"Mengapa engkau berada di kuil rusak ini ?" tanyanya kemudian.

"Jika engkau bertanya begitu, tanyakanlah dirimu sendiri mengapa engkaupun berada di kuil rusak ini...!"

"Mulutmu ternyata jahat sekali, bocah!" kata si pelajar yang jadi habis kesabarannya. "Engkau rupanya kepala batu dan nakal sekali, sehingga diusir oleh orang tuamu, bukan ?"

"Ada urusan apa denganmu ? Aku diusir atau tidak itu urusanku sendiri......!"

"Benar, tetapi keadaanmu yang dekil itu, persis seperti pengemis kecil..!" dan setelah berkata begitu tampak pelajar tersebut telah mengeluarkan suara tertawa yang bergelak-gelak.

"Hemm...........", mendengus Ang-toa sambil berdiri, dia meneruskan perkataannya : "Aku sudah mengatakan antara engkau dengan diriku tidak ada sangkutan apa-apa, mengapa engkau jadi demikian sibuk mengurusi diriku ? Aku mau memakai baju tambalan atau tidak, itu urusanku.....!" dan Ang-toa telah mementang kakinya, untuk meninggalkan kuil itu.

Pertikaian Tokoh - tokoh Persilatan (Hoa-san Lun-kiam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang