3. Terasing di Tepi Hutan

35.7K 1.5K 32
                                    

Pondok kayu tempat Prianya tinggal selama di Pulau Ar-Rasyid berdiri kokoh membentuk seperti rumah panggung, karena hutan tempatnya tinggal masih dihuni oleh beraneka jenis hewan buas. Fairuz tinggal disana selama akhir pekan dan tak pernah terlintas kekhawatiran dihatinya. Area itu telah diberi pembatas agar hewan-hewan tetap terjaga dan tidak turun gunung memasuki perkampungan penduduk.

Ia menaiki tangga perlahan lalu melepaskan sepatu boot dan menggantinya dengan sandal yang berada di rak sepatu dekat pintu masuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ia menaiki tangga perlahan lalu melepaskan sepatu boot dan menggantinya dengan sandal yang berada di rak sepatu dekat pintu masuk. Rumah tampak sepi, mungkin Hussein sedang di hutan melakukan observasi.

"Assalamualaikum," serunya sambil membuka pintu.

"Waalaikum salam."

Pria itu di sana bersandar pada ruang pembatas antara ruang depan dengan area dalam, dengan melipat tangan di dada telanjang dengan bulu-bulu kasar mengintip disana. Otot bisepnya menyembul sempurna bukan hasil olahraga fitnes di dalam ruangan dengan panduan instruktur tetapi berkat tangan kasarnya yang tak berhenti bekerja melakukan pekerjaan kasar menjaga hutannya. Wajahnya terlihat kaku tanpa senyum ditambah jambang yang samar menghias rupa aristokrat nan eksotis itu.

"Dimana ponselmu?"

"Hah?" Fai mengerjapkan mata agak bingung kemudian tersadar. Ia sibuk dengan tugas dan pikiran anehnya hingga lupa menghubungi Hussein. Buru-buru ia membuka tas, mencari ponselnya. Ia meringis mendapati ponselnya mati.

"Maaf..." Fai menatap merajuk. Pasti Hussein berusaha menghubunginya karena sedari istirahat siang ia belum memberi kabar.

Hussein bergerak mendekat. Di raihnya dagu Fai karena kebiasaan perempuan itu yang tak bisa menatap langsung dengan jarak dekat. "Hari ini kau terlihat pucat dan lelah."

"Itu karena fax yang Mas kirim tadi siang harus segera ku ketik sebagai tambahan dokumen hijau. Laporan proyek hotel di Surabaya bukankah senin harus sudah ada di meja Paman Harun? Makanya aku ngebut agar segera dipelajari dan ditandatangani Mas Hussein."

Hussein merapatkan tubuh Fairus seolah melupakan masalah ponsel yang mati. "Pasti bukan hanya karena itu. Kemarin malam aku membuatmu tak bisa tidur sampai kehabisan kondom. Wajar bila kau letih."

Wajah Fairuz bersemu merah namun tak dapat memalingkan wajah karena dagunya diangkat pria itu. "Malam ini Mas ingin makan apa?" Ujarnya mengalihkan perhatian.

"Memakanmu," bisiknya di bibir merekah itu. Fairuz dengan alami membuka bibir menerima pangutan Hussein. Terhanyut dalam permainan lidahnya menyecap rasa Hussein lewat mulutnya. Perpaduaan antar mint dan citrus, aroma yang memabukannya, membuatnya terjerat dalam pesona Pria Ar-Rasyid itu.

Ciuman pun berakhir menghasilkan uap panas yang keluar dari mulut dan hidung keduanya.

"Kau bawa kondom?" Bisiknya masih di bibir Fairuz.

Fairuz mengangguk malu.

Hussein berbisik ditelinganya, "siap bertempur lagi?" Pria itu menjilati daun telinga dan menggigit lembut leher jenjangnya.

It's NOT One Night Stand Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang