Kedatangan Hussein dan Fairuz disambut hangat keluarga besarnya. Walau sudah dua tahun berlalu sejak Hussein mengenalkannya pada keluarga, namun ia masih saja canggung. Mungkin karena Hussein jarang mengajaknya berkunjung ke Puri.
Mereka tiba saat sarapan pagi. Jadwal sarapan pada akhir pekan dua jam lebih lambat dibanding hari biasanya. Dan saat seperti itu semua anak cucu Hasan Ar-Rasyid berkumpul dalam suasana hangat.
Sebuah meja panjang terhidang berbagai jenis makanan untuk santapan pagi itu. Deretan kursi berjajar rapi di samping kiri kanan meja. Di setiap ujung meja terdapat sebuah kursi untuk kepala keluarga dan yang lainnya untuk tetua di rumah itu.
"Fai, sering-seringlah main ke sini. Hussein terlalu memonopoli dirimu. Kau juga bagian keluarga ini."
Teguran Hasan Ar-Rasyid membuat Fairuz melirik pada Hussein.
"Nanti kedepannya kami akan lebih sering kemari. Untuk saat ini Fai sibuk mengerjakan proposal proyek hotel di Surabaya." Husseinlah yang menimpali ucapan kakeknya.
"Itu alasanmu saja. Urusan pekerjaan tak akan ada habisnya. Sabtu minggu jangan kau porsir tenaganya. Luangkan waktu kalian."
"Baik Kek." Hussein lebih suka untuk tidak berdebat dengan kakeknya. Ia sempat berbisik pada Fairuz. "Aku lebih suka menguras tenagamu di atas ranjang."
Fairuz yang sedang minum tersedak mendengarnya. Tak menyangka sosok pria disampingnya mengatakan hal seperti itu.
"Fai makannya santai saja," ujar Hussein datar, dengan tangannya menyembunyikan senyuman geli melihat tingkah Fai yang masih berusaha menghentikan batuknya.
Ia melanjutkan makan dalam diam sementara para pria walau sudah selesai makan tetap di sana memakan hidangan penutup dan minum secangkir teh atau kopi ditemani obrolan dan perdebatan yang tak ada habisnya. Semua orang dirumah itu saling mendominasi namun tetap dalam kendali Sang Kepala Keluarga.
"Merasa tak nyaman?"
Fairuz menatap wanita di sebelahnya. Wanita yang siapapun akan merasa tentram bila di dekatnya. Walau dalam balutan baju gamis dan kerudung panjangnya yang bersahaja tak mengurangi kecantikannya. Usinya memang tidak muda lagi namun kecantikannya tak luntur tergerus waktu. Dialah Tante Aisyah, seseorang di keluarga yang paling netral dan penyejuk bila suasana mulai memanas.
Fairuz tersenyum, "tidak Tante. Aku menikmati percakapan pria Ar-Rasyid."
"Jangan pedulikan percakapan mereka. Pusing aku mendengarnya." Bisik Syafia di seberangnya.
"Sya, suamimu tak pulang lagi?"
Syafia tersentak mendengar teguran Pamannya. "Entahlah, sudah dua minggu aku tak bertemu. Mungkin ia sedang selingkuh dengan pekerjaannya." Syafia terkesan acuh, ia malas jika ada yang membahas suaminya.
"Kenapa kau tak ikut menemani jika suamimu sibuk?"
Syafia mendelik ngeri. "Aku? Hidup di antah berantah?"
Kakeknya ikut menimpali, "Harun! Kau sama saja menyuruh Syasya bunuh diri."
Syafia mengedipkan mata pada kakeknya yang berada di ujung meja.
"Abi, apa yang salah dengan hidup di pertambangan? Lagi pula mereka pengantin baru."
"Salah jika perempuan itu adalah Syasya."
"Kenapa ia bersedia menikahi lelaki gila kerja itu?"
"Ingat, kau yang menjodohkan mereka."
Harun terdiam sejenak mendapat balasan dari ayahnya.
"Aku membuat sup buah. Bagaimana kalau kita memakannya sekarang?" Aisyah menginterupsi meredakan suasana perdebatan sebelum Harun mulai membalas ucapan Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's NOT One Night Stand
Storie d'amoreAr-Rasyid Series #First Story INONS Season 1 (end) "Aku mempunyai penawaran untukmu. Jadilah wanitaku dan kau akan mendapatkan perlindungan dan harta. Hubungan kita bukan hitam diatas putih, tapi aku akan menjamin kesejahteraan keluargamu." Fairuz...