Pagi itu Fairuz tanpa firasat apapun ketika ia mendapat tugas dari bosnya untuk segera menuju Hotel Ar-Rasyid II. Baru satu langkah ia memasuki lobi hotel, terlihat para pegawai hilir mudik. Ia menuju resepsionis yang juga sibuk menerima telpon.
"Permisi mba, saya Fairuz Thaher diperintahkan pak Hussein untuk-"
Wanita yang bertugas itu menatap Fairuz dari ujung sepatu sampai puncak kepalanya. Ia dengan cekatan merespon, "ah, petugas tambahan." Ia menunjuk bagian kanan hotel, "kau pergi ke ballroom hotel, disana sangat dibutuhkan bantuan."
"Kesana?" Tujuk Fairuz ke arah kanan juga. "Tugas seperti apa yang akan saya kerjakan?"
Jika aku perempuan arogan, pasti sudah kutunjuk-tunjuk pegawai ini. Tak tahu apa aku ini istri pemilik hotel Ar-Rasyid?!
Fairuz hanya bisa mendengus dalam hati. Semenjak ia hamil, ia menjadi sedikit pemarah. Kata Syifa, itu merupakan hal normal pada ibu hamil dan ia harus sering melakukan relaksasi untuk menstabilkan emosi demi janinnya.
"Iya kesana, ballroon hotel. Kau pegawai baru ya? Sana cepat!" Wanita itu mengusir Fairuz dengan mimik kesal.
Fairuz tidak menyanggah maupun membantahnya, ia cukup memaklumi kesibukan resepsionis yang sepertinya kesibukannya diluar biasanya. Iapun jarang sekali ikut Hussein memantau Hotelnya. Ia sibuk di pusat, jadi kadang Risma yang menemani Hussein dalam melakukan inspeksi. Wajar bila karyawan hotel tak mengenali wajahnya.
Ia melangkah pelan, ada janin dikandungannya. Ia tak ingin keguguran hanya karena berlarian demi pekerjaan. Pekerjaan masih bisa dicari tetapi janinnya hanya ada satu. Tak tergantikan, bahkan nyawanya sendiri rela ia tukar demi keselamatan sang janin. Bukan lebay, itulah seorang ibu. Insting keibuan yang membuatnya waspada melebihi kecepatan alat seismograf dalam mendeteksi gempa.
Ballroom hotel nampak ramai oleh para pegawai yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing dalam menata ruangan menyulapnya menjadi tempat mewah untuk sebuah acara khusus.
"Kau! Kenapa berdiri disitu?!" Bentak seorang wanita pertengahan tiga puluhan tahun, ketika Fairuz memasuki ballroom hotel.
"Saya-"
"Lihat pakaianmu! Rokmu itu salah!"
Fairuz menatap rok span tujuh perdelapannya yang terbuat dari kain batik merah dengan motif burung merak yang dilukis tinta emas. Ia pesan kain itu selama tiga bulan dengan harga fantastis dan dijahit oleh seorang designer ternama, yang belum tentu ia bisa beli kecuali ia istri seorang taipan. Tak ada yang salah dengan roknya yang terlihat indah dan elegan.
Kemudian sejurus mata ia melihat karyawan yang berada di ballroom yang kesemuanya memakai seragam putih hitam. Dahinya berkerut dengan penemuannya itu. Astaga, aku disamakan dengan karyawan hotel?! Setega itu kah Hussein menempatkan posisi karyawan biasa padaku?! Tak mungkin! Hussein tak mungkin melakukan hal itu padaku.
"Pasti ada kesalahan."
"Apanya yang kesalahan?! Kami sedang membutuhkan banyak karyawan! Keluarga pemilik hotel akan mengadakan acara penting!"
Aku juga bagian dari keluarga Ar-Rasyid, keluh Fairuz namun dalam hati. Ia tak bisa balas berteriak mengingat statusnya tidak berkekuatan hukum. Hanya sebatas kalangan keluarga yang mengetahui pernikahannya dengan salah satu pria Ar-Rasyid. Memikirkan hal itu hanya membuatnya lelah pikiran.
"Dan sepatumu itu!" Wanita itu menunjuk-nunjuk flat shoes-nya. Sejak kembali dari cutinya, Fairuz mengganti semua high heels dengan flat shoes atas saran bidan dan Syifa.
"Standar hotel kita adalah sepatu dengan hak lima centi! Cepat ganti rok dan sepatumu!" Wanita yang dinametagnya terdapat foto dengan tertulis nama Helsa Mutiara dan dibagian bawahnya tertulis assistant manager itu, menatap marah padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's NOT One Night Stand
DragosteAr-Rasyid Series #First Story INONS Season 1 (end) "Aku mempunyai penawaran untukmu. Jadilah wanitaku dan kau akan mendapatkan perlindungan dan harta. Hubungan kita bukan hitam diatas putih, tapi aku akan menjamin kesejahteraan keluargamu." Fairuz...