17. Ketiadaan Hussein

20.2K 1.5K 122
                                    

Fairuz mencoba menenangkan diri ketika kembali menginjakan kaki di perusahaan setelah seminggu ia cuti. Ia baru beberapa langkah memasuki lobi perusahaan, sudah dihadang ketiga temannya.

"Mba Fai kau baik baik saja?" Risma berhamburan memeluknya.

"Ku kira kau tertabrak, koma, cedera berat atau kau diculik." Stevani mendorong Risma, memperhatikan setiap helai rambut, kemudian memutar tubuh Fairuz mengecek kelengkapan tubuh hingga ujung sepatu Fairuz. Ia mengangguk saat hasil inspeksinya lolos uji kelayakan tanpa cacat.

"Kami parno Fai. Khawatir kau kenapa-napa." Niken menyenggol Stevani yg mencoba memonopoli Fairuz. Alhasil dua temannya itu saling melotot tajam.

Fairuz tersenyum. Teman-teman peduli padanya, membawa energi positif untuk menguatknnya. Ya, ia butuh banyak suntikan energi untuk menghadapi Hussein.

"Kau tau Fai, Dimas seperti orang tak waras mencarimu. Ia hampir menelepon polisi melaporkan kehilanganmu jika tidak ditenangkan Hardi." Stevani melaporkan detail tentang Dimas. Mungkin karena dia teman baik Dimas makanya berharap besar Fairuz berjodoh dengan tetangga rumahnya itu.

"Dan kau tau? Semenjak kau cuti. Pak Hussein uring-uringan, kerjaanya marah-marah. Risma sampai tak tahan ingin mengundurkan diri." Niken tak mau kalah, melaporkan apa yang mungkin Fairuz terlewat selama ia cuti.

"Iya Mba Fai, pak Bos parah sejak Mba cuti. Aku jadi sasaran amukannya. Apa yang aku lakukan salah terus dimatanya."

Fairuz menghela nafas berat. Tak akan mudah menghadapi pria itu. Tetapi ia akan berusaha. Demi Dede Utun di kandungannya.

"Aku ke ruangan pak Hussein dulu. Dia ada di kantornya?"

"Sudah seminggu bapak tak pulang. Ia menginap disini," bisik Risma. Dia baru tahu di balik ruangan bosnya tersembunyi ruangan lain.

Jadi begitu, baiklah ini saatnya bertempur.

Fairuz menuju lift bersama teman-temannya. Ia hendak menekan tombol ketika Dimas dengan berlari kencang memasuki lift membuat yang di dalam lift menjerit sekaligus tertawa tak percaya.

"Gila loe Dim!" Umpat Stevani spontan, menyaksikan tangan Dimas nyaris tergencet pintu lift karena berusaha masuk tadi.

Dimas membalas dengan tertawa, Fairuz yang membuat gue gila!

Fairuz geleng-geleng dengan seulas senyum di bibirnya kemudian ikut tertawa. Akhirnya setelah seminggu, ia masih bisa tertawa yang ia kira otot-otot tawanya telah lumpuh.

"Kau terlihat sehat Fai, syukurlah. Aku-" Dimas ragu, tak enak hati pada orang-orang di dalam lift yang tak lain teman-temannya sendiri.

"Anggap saja kami sedang melakukan mannequin challenge." Ujar Stevani langsung berbalik arah membelakangi mereka berdua kemudian berpose patung.

"Iya, kita juga tutup telinga." Niken menimpali sembari berbalik juga dengan menutup telinganya diikuti oleh Risma.

Dimas tersenyum berterima kasih pada Stevani dan kedua temannya yang memberinya ruang untuk berbicara berdua saja dengan Fairuz. Itu membuatnya mengurangi kejengahan.

Ia memegang tangan Fairuz, menatap dengan penuh cinta. "Aku mengkhawatirkanmu, Fai." Ia melanjutkan kalimatnya yang tadi sempat terputus.

Seandainya Hussein begitu perhatian seperti Dimas. Sudahlah, aku terlalu banyak berharap, keluhnya dalam hati.

"Aku baik-baik aja kok Dim. Maaf ya tak menghubungimu, aku harus istirahat total."

"Ya, kulihat begitu. Aku lega mendengarnya. Jika aku minta waktu siangmu, tak adil bagi teman-temanmu. Jadi sore ini aku antar pulang ya? Sekalian kita dinner."

It's NOT One Night Stand Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang