Prolog

2.1K 100 9
                                    

Hujan turun dengan semangat-semangatnya sore ini. Memberi efek buruk bagi Ibukota. Genangan air di pinggiran jalan, sungai-sungai yang mulai meluap, dan cuaca dingin yang seakan menusuk kulit. Tapi, pada dasarnya Jakarta adalah kota yang sibuk, hujan saja tidak menghentikan aktivitas kerja mereka. Kendaraan pribadi hingga angkutan umum masih berkeliaran di jalan menerobos hujan dan genangan air yang semakin meninggi.

Melihat pemandangan membosankan itu, gadis yang berdiri di sebelah halte bus dengan payung ungunya itu memilih sibuk dengan ponsel dan menghubungi seseorang.

"Halo, Ma, Gre udah pulang." ucapnya sambil menunduk. "Hmm. Iya, Gre tunggu."

Telpon singkat itu terputus, gadis yang memanggil dirinya Gre itu memasukkan benda canggih itu ke saku rok kemudian memilih untuk diam memandangi tetesan air hujan yang makin deras membasahi Ibukota. Gre atau Shania Gracia yang akrap di panggil Gracia ini adalah salah satu orang yang membenci hujan, namun tetap hujan-hujanan. Perempuan penyuka warna ungu ini juga membenci dataran tinggi, entah itu bukit maupun gunung, Gracia membenci tempat itu.

Hanya karena satu alasan yang tidak ia beritahukan kepada siapapun. Sekalipun itu orangtuanya.

Sebuah mobil warna putih berhenti di depan Gracia yang sedang menunduk, membuatnya menengadah dan menghentikan gerakan kakinya yang sedari tadi menendang-nendang air tanpa alasan. Ia menarik sudut bibirnya ke atas, membuat sebuah senyum kecil yang di balas dengan senyum lebar wanita di dalam mobil itu.

"Ayo," Gracia mengangguk dan membuka pintu mobilnya lalu melipat payung sebelum menutup pintunya. "Gimana sekolahnya?"

"Baik, kok. Ng, nggak baik-baik amat, sih. Tadi ada kakak kelas pendiam, cuek, aneh, ansos, nyebelin yang nabrak Gre." cerocos Gracia yang membuat Mamanya menerjap beberapa kali untuk memahami ucapan anaknya itu.

"Terus? Udah minta maaf?—Eh tapi itu julukannya banyak banget? Emang sampai segitunya ya?" Sahut Mamanya, atau kita panggil saja Shania, yang memberondong Gracia dengan berbagai pertanyaan. Yep, Gracia adalah cetak biru Shania, C-e-r-e-w-e-t. Tapi jika dirinya sedang diam, tentram, itu adalah turunan dari Papanya, Boby.

"Udah, sih. Ya, tapi ngomongnya singkat, padat, dan jelas. Udah gitu langsung pergi deh." Gracia menyandarkan tubuhnya pada jok berwarna coklat abu-abu itu. "Iya, menurut sumber terpercaya kelas aku, dia itu pendiam, cuek, aneh, ansos, tapi pinter. Udah gitu... banyak yang naksir."

Shania terkekeh,

"Apa bagusnya coba? Aneh tau nggak, Ma? Aneh. Pake banget." Sungut Gracia menghela nafas panjang.

Shania melirik Gracia lalu kembali fokus ke jalanan. "Ya, asal kamu tahu, Papa kamu itu dulunya juga aneh, pendiam, nggak peka, cuek, ansos, kutu buku, dan pinter. Banyak yang suka juga, tapi nggak tahu deh, kenapa Mama bisa tertarik sama orang kaya gitu." Shania terkekeh, mengingat saat dia mencari perhatian ke Boby tapi dia tidak peka dan sama sekali tidak mau tahu. "Pasti dia punya masa lalu di balik sikap dinginnya itu. Kalau pendiam, bukan berarti dia tidak mau bergaul dengan yang lain, mungkin dia hanya ingin menikmati kesunyian dunia dari pada mengganggu kehidupan orang lain,

"Ya, kalau kutu buku, emang dia orangnya mau baca, entah buku pelajaran, novel sampai komik. Yang penting baca. Bahkan Papa kamu lebih parah dari itu. Dan percayalah, mereka patut dipertahankan." Shania tersenyum lebar, bangga akan kata-katanya sendiri. Seakan dirinya adalah motivator yang baru saja memotivasi orang lain.

Gracia memutar malas bola matanya, "Ya kalau dia cowok, Ma. Dia itu cewek, kalau aku pacarin—apa kata dunia?"

"Eh? Ehe, Mama kira dia cowok, Gre. Ya maaf-maaf." Shania terkekeh. Lagi.

Mobil putih itu berhenti di halaman depan sebuah rumah yang di dominasi warna putih. Gracia turun begitu juga Shania. Seperti biasanya, Gracia langsung melesat ke kamarnya setelah mampir ke dapur untuk mengambil beberapa camilan. Sedangkan Boby sendiri masih berada di kantor dan baru akan pulang satu jam lagi.

Keputusan Gracia sudah bulat. Sore ini dia hanya ingin berdiam diri di rumah dan kepoin Frans—yang katanya menyukai Gracia—lewat teman-temannya. Dan Gracia juga ingin menyelesaikan rajutannya yang entah untuk siapa. Awalnya rajutan itu hanyalah produk gagal hasil prakteknya, tapi karena tak ingin buang-buang gulungan wol, akhirnya Gracia memutuskan untuk memperbaiki produk gagalnya dan membuat syal yang kini setengah jadi.

Selesai dengan urusan mandi, Gracia langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan mulai menyibukkan diri dengan media sosial. Dan dengan ini, di mulainya acara kepoin Frans ala Gracia. Dia bertanya pada semua temannya—kecuali mereka yang laki-laki. Karena Gracia yakin para cowok itu akan langsung melaporkannya pada Frans—dan dengan pertanyaan yang sama.

Misalnya; Kesukaan Frans itu apa aja, sih? Hobinya apa? Rumahnya mana? Ukuran sepatunya berapa? Ukuran bajunya berapa? Kenapa kok suka sama aku? Mantannya berapa?—eh.

Itu cukup membuat mereka kewalahan menjawab dan cukup membuat Gracia menyelesaikan seperempat bagian syal-nya yang entah akan jadi sepanjang apa. Bahkan camilan yang diambilnya dari kulkas sudah habis.

"Gracia," merasa ada yang memanggil dan mengetuk pintu kamarnya, Gracia beranjak dari posisi duduknya di tempat tidur dan membuka pintu kamarnya. Shania. "Di cari teman kamu, tuh."

Gracia clingukan ke bawah, karena tubuh tinggi Mamanya itu menghalangi pengelihatannya. Pletak! Jitakan Shania mendarat mulus di kening Gracia, membuat empunya meringis kesakitan sambil mengusap kening.

"Apaan sih, Ma?" Sungut Gracia.

"Ya nggak kelihatanlah orangnya dari sini, ruang tamu 'kan ada di bawah, kamar kamu aja di atasnya ruang tamu." Shania bersedekap.

"Oh, iya, ya." gumam Gracia. "Yaudah, Gracia turun!" serunya sambil berlalu melewati Shania dan menuju ke bawah untuk melihat siapa yang bertamu di jam istirahatnya.

"Oh, Nadse." lirih Gracia sambil menghampiri perempuan bernama Nadse yang kini duduk manis di ruang tamunya. Gracia duduk di sebelahnya, membuat perempuan itu menyunggingkan senyum. "Kenapa?"

"Aa..." Nadse menggaruk tengkuknya. "Lupa, Gre." lanjutnya sambil nyengir.

Gracia menyentil kening gadis itu greget, "Biasanya aku yang lupaan, kok malah kamu sih?"

"Ehe, sekali-kali lah." Nadse tersenyum kikuk. "Oh udah ingat. Aku mau pinjam buku paket Bahasa Indonesia, buku aku ketinggalan di loker, terus besok ulangan harian." lagi, Nadse menyeringai, memamerkan deretan giginya.

Oh ya, Nadse itu teman Gracia sejak kecil, rumahnya hanya berjarak empat rumah dari rumahnya Gracia. Dan mereka beda kelas.

"Oh, tunggu bentar." Gracia kembali ke kamarnya. Lalu seperti Flash kembali sambil menunduk. Dan berkata dengan entengnya, "Buku aku juga ketinggalan, Nads."
















To Be Continued


A/N

Gatau deh ini cerita apaan :v
Intinya ini cerita pertama aku di wattpad. Maaf kalo ada typo atau semacamnya, emang gak bakat nulis akunya. Tapi tetep nekat.

Udah ya, see u on next part!

CntDesbella

Secret Admirer in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang