Gracia merengut. Frans sialan karena menyuruhnya untuk menunggu di warung dekat sekolah. Tadi Gracia ngotot ingin ikut, dan Frans segera bersyukur saat Shani kebetulan datang dengan wajah kusut: katanya membayarkan utang Feni kemarin. Pemuda itu menyuruh Shani memastikan bahwa Gracia tidak kabur sebelum dia kembali ke warung itu.
Apa, sih, masalah Frans? Bagaimana kalau dia ternyata dikroyok preman? Atau benar-benar ketiban tembok? Bagaimana kalau dia tidak kembali? Bagaimana...
Ah, tunggu. Kenapa Gracia jadi memikirkan Frans? Gadis itu menggeleng cepat untuk menghapuskan kekhawatirannya tentang Frans.
“Gre, masih inget aljabar, nggak?”
“Heh?” Gracia menoleh heran saat tiba-tiba Shani bertanya demikian. Gadis jakung itu tengah menatap ponselnya sambil mengernyit. Lalu ia menjawab, “lupa. Emang kenapa?”
“Gatau. Celine tiba-tiba tanya gitu.” Shani mengendikkan bahu dan menulis jawaban 'tidak tahu' untuk Celine. Ia menatap Gracia kemudian, “Buat adiknya mungkin.”
“Loh, dia punya adik?”
“Gatau, ehehe..”
Gracia harus berhenti bicara dengan Shani, serius. Dia bisa gila mendadak karena temannya itu. Bicara dengan Shani itu tidak ada manfaatnya, percuma. Entah saat ini dia yang sedang lola atau Gracia PMS.
“Frans lama banget.” keluh Gracia kemudian. Ia melirik jam tangan ungunya lalu berdecak, “Lima menit dari Hongkong? Ini udah sepuluh menit.”
Gracia kembali menatap Shani dan seketika tersadar akan ucapannya barusan karena melihat ekspresi tengil dari Shani. Sial, Gracia keterusan.
“Apa?” ketus Gracia dan memilih untuk makan gorengan di depannya.
“Cie!” Shani terkekeh sebentar, “Perhatian, uwuwu. Telpon Feni, ah, trus bilang 'Feni, Gracia perhatian sama Frans'.”
“Lah, bukannya lagi bete sama Feni?”
Mendengar ucapan Gracia, ibu jari Shani yang bergerak di atas layar handphone pun terhenti. Benar juga. Dia, 'kan, sedang dalam-mode-membenci-Feni karena dia ngutang dan suruh bayarin utangnya. Kemudian Shani merengut dan meletakkan ponselnya di atas meja. Gracia tersenyum menang.
Setelah terjadi keheningan cukup lama, Shani tiba-tiba beranjak dari duduknya dan berteriak kencang. Gracia yang penasaran pun mengikuti arah pandangan Shani ke luar warung. Lalu gadis jakung itu segera keluar dengan senngaja menghentak hentakkan kakinya.
“Shan? Kenapa?” pertanyaan Gracia pun diacuhkannya. Huh? Shani kenapa? Tidak ada alasan berarti kenapa Shani tampak memasang wajah galak dan berjalan ke arah halte bus seberang jalan. Gracia mengikuti dari belakang.
Apa jangan-jangan Shani cemburu lihat Vino jalan sama cewek lain? Oke, itu tak masuk akal, tidak ada tanda-tanda Vino di sini—dan Gracia juga melihat dengan mata kepala sendiri kalau motor sport kakak kelasnya itu sudah meninggalkan sekolah sejak setengah jam lalu. Di halte bus itu, Gracia hanya mendapati dua orang, yang satunya baru saja Shani tarik telinganya.
“Ohhh, jadi ini tugas kelompoknya?” weit. Shani tiba-tiba galak. Gracia mundur dua langkah saat laki-laki berseragam SMP itu mengaduh kesakitan. Eh tunggu, sepertinya Gracia kenal seseorang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer in Love
FanfictionKalau kata Frans, bahagia itu mudah. Bisa lihat Gracia senyum dan tertawa adalah kebahagiaan tersendiri. Omong-omong, Frans suka sama Gracia.