"IYA," Akbar tertawa kecil, saat ini ponsel warna hitam miliknya sudah menempel dengan telinga kanannya, "kamu tidur aja dulu, Lul."
"Kalo aku tidur kamu tidur juga?" tanya perempuan di ujung telepon.
"Enggak," kata Akbar jujur. "Aku main PS."
"Ish,"
"Nggak lama, palingan sampe jam 12," kata Akbar tidak seratus persen yakin dengan ucapannya sendiri.
"Awas ya kalo lebih," ancam seorang perempuan pemilik nama Lula itu. Akbar sontak membayangkan wajah Lula saat perempuan itu kesal. Tidak terasa, ini memasuki tahun ketiga hubungan mereka. "Akbar dih, aku lagi ngomong juga."
"Iya, sayang." Akbar tertawa kecil. "Yaudah tidur gih, matiin teleponnya."
"Yaudah, aku tidur duluan ya." Ada jeda. "Malam, Akbar."
"Malam juga, Lula."
***
KAMAR dengan dinding yang sengaja di cat warna hitam itu terlihat tidak seberantakan tadi pagi. Pasti saat Akbar sedang di luar, Mbak Tini atau Mbak Wati masuk untuk membereskan kamar tersebut.
Akbar sudah mengganti seragamnya dengan celana boxer dan dada yang tidak ditutupi apa-apa. Dia bersandar dengan bibir kasur dan tangannya masih sibuk menekan-nekan tombol pada stick PS yang dia genggam.
Di sebelah kiri, ada secangkir kopi yang baru saja dia buat lima menit lalu. Dan tepat di sebelah kopi itu, ada asbak lengkapdengan sebatang rokok yang ujungnya menyala.
"ANJING!" maki Akbar begitu tim lawan berhasil membobol gawangnya dalam permainan sepak bola. Akbar lalu menjeda permainannya dan beranjak untuk meminum cairan warna hitam pekat yang ada di sebelah kiri.
Ah, bosan sekali.
Akbar tiba-tiba kehilangan mood untuk bermain PS lagi. Jadi, anak lelaki itu langsung bangkit berdiri. Lalu menghampiri sudut ruangan di mana gitar cokelatnya ada di sana. Setelahnya, Akbar meraih gitarnya dan membawanya menuju pintu balkon yang belum dia kunci.
Setelah itu, Akbar memutuskan duduk di tembok pembatas beranda. Dan mulai memetik senar gitarnya dengan jemari. Dia tidak lagi peduli kalau-kalau genjrengan gitar itu bisa membangunkan tetangga-tetangganya. Jadi Akbar terus memainkan alat musik yang sudah sejak SMP dia miliki.
Tiap-tiap kunci yang dia mainkan membentuk instrumen indah dan secara reflek, lelaki itu memejamkan mata. Menikmati permainannya, sendirian.
Sampai dia menyadari sesuatu.
Rumah berlantai dua di depannya. Rumah yang bersebrangan dengan rumahnya. Akbar ingat betul, kemarin, rumah itu masih kosong. Karena belum ada pembelinya. Tetapi, malam ini, Akbar bisa melihat sebuah mobil terparkir di halamannya, dan lampu-lampu rumah itu menyala. Lengkap dengan tumpukan kardus yang dibiarkan teronggok mengenaskan di teras rumah itu.
Tetangga baru?
Akbar sempat terpikirkan dua kata itu. Tapi hanya dua menit. Setelahnya, dia memilih kembali pada permainan gitarnya yang tadi sempat dia hentikan sebentar.
Matanya langsung terpejam lagi saat instrumen musik yang akan segera dia nyanyikan mulai terdengar indah.
Rintik gerimis di bulan Desember mulai berjatuhan menyentuh aspal jalanan kompleks, menimpa daun-daun di pekarangan rumah dan taman, membuat bunyi-bunyi teduh dan memunculkan aroma tanah yang mengilik hidung dengan lembut.
Hujan itu jatuh, tidak deras, seolah mengiringi petikan senar gitar Akbar dan bibirnya yang akan menyanyikan sebuah lagu.
"The clouds hold a storm over this road,
You're dreaming, or at least still got your eyes closed,
And this dormant love you've built inside your stubborn ways,Well it's begging now, for air of the silent breath of change,
As these waves crash against the highway cliffs,
I am so scared they'll flood me where I sit,
Well the road, they change the waterways,
They never carry home....," Permainan gitar itu terus berjalan. Tapi Akbar masih memejamkan matanya. Menikmati setiap detik petikan gitarnya dan lantunan lagu yang sejak tadi dia nyanyikan. Hidungnya menghirup oksigen dalam-dalam dan memaksa selruh aroma tanah itu masuk ke dalam paru-paru dan otaknya. Sebelum ia bernyanyi lagi,"You pull back, and you angle towards the window,
Now the rain is crashing down,"Mata Akbar terbuka perlahan dibarengi bibirnya yang masih menyanyi,
"Oh my God, you're beautiful..."
Dan bersamaan dengan itu, mata Akbar terbuka sempurna. Sampai dia bisa melihat perempuan dengan kaos warna biru laut sedang berdiri di jendela yang bersebrangan dengan jendela kamarnya.
Pandangan keduanya beradu.
Hanya lima detik. Tapi sanggup membuat seleuh rongga dada Akbar diselimuti rasa gugup dan canggung. Permainan gitar dan nyanyiannya sontak berhenti total. Jantungnya seperti dialiri listrik dan dia merasa aneh.
Akbar bergeming.
Bahkan sampai anak perempuan yang rambutnya dicepol sembarangan itu masuk lagi ke dalam kamarnya dan menutup jendela rapat-rapat, Akbar masih terpana.
Lelaki itu beku di tempatnya.
***
Author Notes:
Perkenalkan, di versi baru kali ini ada Lulaaaa.
Jangan lupa vote dan komen ya! See youu di bagian selanjutnya