On media:
5 Seconds of Summer - Amnesia
"DEMI apa lo sama dia tuh udah pacaran?" tanya Fia menggebu-gebu. Ia sontak mengabaikan toples kripik kentang yang ada di hadapannya, matanya melebar dan ia berhenti mengunyah.
"Gue nggak nyangka aja sih lo segoblok itu, Ta. Mau aja jadi selingkuhan," sambung Fia. Gaya bicara Fia yang ceplas ceplos rasanya tidak lagi menjadi rahasia. Dan lagi pula, Bita tidak keberatan jika sahabatnya bicara begitu.
Bita diam ditempatnya. Tanpa mengatakan apa-apa setelah ia mengungkapkan kebenaran dihadapan Fia dan Caca.
"Astagaaaaa.." Caca menanggapi. "Gue kok jadi kasian sama Lula ya?"
"Kok gue kebalikannya ya?" Fia mengigit ujung kripiknya lagi. "Gue seneng aja liat Lula akhirnya curiga kalo Akbar ada main. Soalnya gimana ya– gue mikir Lula ke Akbar tuh kayak manfaatin banget nggak sih?"
"Iya sih," Caca mengangguk. "Tapi –"
"She deserve it." Bita mengumam. Mendiamkan dua temannya yang sibuk dengan jalan pikiran mereka masing-masing. "Nggak ada yang salah dari Akbar dan Lula. Kalaupun Akbar akhirnya sering beliin Lula ini itu, ya itu tuh semacem apa ya –reward?"
"Reward lo kata?" balas Fia.
Bita mengangguk dua kali. "Sebagai balasan karena selama tiga tahun ini, Lula udah betul-betul jadi tempat Akbar pulang dan ngeluh. Sebagai balasan atas rasa bahagia dan rasa beruntung yang udah Akbar rasain selama ini."
"Tapi, Ta–"
"Jauh sebelum dia kenal gue, jauh sebelum semua ini, Akbar udah ngerasain gimana dia bisa bahagia cuma karena liat Lula senang. Jauh sebelum dia jatuh cinta sama gue." Sedetik kemudian, Bita tersenyum sekilas menertawai kebodohannya sendiri sebelum kembali berkata-kata.
"Or maybe he never did."
"Ta.." Caca mendekat, merengkuh bahu sahabatnya dan memberi isyarat agar Bita menyandarkan kepalanya di bahu Caca. "Gapapa, gapapa. Jangan sedih ya."
"Okay. She deserve it." Fia mengangguk.
"And i'm fuckin' serious, you deserve someone better too," sambungnya tegas sebelum berlalu ke dapur.
***
"MIKIRIN apa, sih?"
"Hah?"
"Kamu," kata Lula. "Mikirin apa?"
"Mikirin apaan sih?" Akbar balik bertanya. "Orang nggak mikirin apa-apa."
"Terus kenapa diem aja?"
"Kan lagi makan," sahut Akbar sepenuhnya berdusta. Sejak tadi, yang dilakukan lelaki itu hanya membolak-balikkan sendok dan garpunya di atas piring, tanpa memakan makanan yang ada di atas benda itu sama sekali. Anak lelaki langsung melirik tangan kirinya saat Lula menggenggamnya di atas meja.
"Hei..." Suara lembut perempuan itu membuat Akbar tersenyum. Walaupun tak lebih dari satu detik. "Everything's alright?"
"Aku nggak kenapa-napa," Akbar berdeham, kemudian tersenyum lagi. "Aku nggak kenapa-napa, sayang."
"Besok jadi kan?" tanya Lula sambil melepaskan genggamannya dan kembali menggenggam gelas kaca di hadapannya yang berisi minuman bersoda dengan warna merah.
Akbar tampak linglung walau tidak kentara. Cowok itu menggaruk pangkal hidungnya dua kali.
"Iya."
