SEMENJAK malam di mana Akbar menanyakan keadaan Bita, perempuan itu akhirnya memilih Akbar sebagai tempat berbagi cerita yang baru. Tadinya, Bita menganggap ia tidak akan punya tempat bercerita selain pada Vina sahabatnya di Bandung.
Tetapi, malam itu Akbar mematahkan anggapannya.
Bita bercerita. Nyaris semuanya. Tentang Bimo yang datang, lalu marah-marah. Tapi Bita tidak mengatakan bahwa kekasihnya itu mengatai Akbar dengan perkataan kotor. Bita tahu Bimo. Dan Bita tidak mau ada hal-hal buruk menimpa dua lelaki itu.
Pagi ini, Akbar berangkat ke sekolah sendiri. Padahal, sejak semalam dia sudah berencana ingin mengajak Bita berangkat bersama. Hitung-hitung ada teman ngobrol dan bisa... modus.
Tapi, ternyata saat Akbar tadi pagi menjemput ke rumah perempuan itu, Bita sedang sakit sehingga tidak berangkat sekolah hari ini.
Bel istirahat pertama sudah berbunyi. Akbar yang tadinya tidur pulas selama pelajaran Pak Agung, guru matematika, masih belum bangun. Akbar memang sebenci itu dengan pelajaran hitung-hitungan. Tidak peduli mata pelajaran itu penting, masuk Ujian Nasional, atau apapun. Intinya, Akbar benci.
Hal itu membuat Jaya yang sedaritadi duduk di bangku sambil mendengarkan musik langsung menyenggol lengan sahabatnya.
"Woy!"
"HAH!"
"Kantin nggak lo?" tanya Jaya sambil menarik lepas kabel headset sebelah kirinya. Lalu ia mengecilkan volume musik dan memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. "Si Yanto udah gacor mulu nih di grup minta disusul."
Akbar langsung menegakkan posisi tubuhnya, ia mengangkat kepalanya dari atas meja dan menggeliat layaknya orang baru bangun tidur. Lalu pandangannya mengelilingi ruangan kelas. Mencari-cari pria paruh baya berusia kepala empat yang tadi menjelaskan perihal integral.
"Si Agung Hercules mana?" tanyanya kemudian. Sesaat setelah ia menggaruk pipinya yang tiba-tiba gatal.
"Ya udah keluar lah, Hamdan."
"Terus, kita ke kantin nggak?"
"Perasaan daritadi gue udah ngajak, Pak."
"Ya maap tai. Kan tadi nyawa gue masih kececer."
"Ayo kita kantin," kata Fingky yang langsung bergabung setelah teman sebangkunya, Riski pergi meninggalkan kelas lebih dulu. Lelaki itu tersenyum sampai pipinya mengembang dan matanya menyipit.
"Sabar," kata Jaya. "Nyawa Akbar masih kececer."
"Jangan lebay." Fingky menghela napas. "Buruan ke kantin dah. Fingky udah lemah tak berdaya. Nanti kalo Fingky pingsan terus sakit? Gimana? Nanti Fingky di marahin Bunda."
"Lo tau najis muthowasitoh nggak, Fing?"
***
"PESENIN gue Soto sama es teh ya, Fing," pinta Akbar begitu Fingky bangkit dari kursi kantin. Lelaki berkulit sawo matang itu nyaris memberi penolakan tetapi Akbar lebih dulu mengatakan, "sekalian elah! Ntar gue beliin rokok sebat."
"Oke!" kata Fingky merubah ekspresi ketidak ikhasannua dengan cengiran lebar.
Teman yang baik memang begitu.
"Gue udah cerita belom, sih?" tanya Edo berapi-api.
"Apa?"
"Apaan?"
"Awas aja kalo masih bahas Mbak Yayuk, lo gue kebiri," ancam Jaya.
