"INI maksudnya apa, Bim?" tanya Bita seraya menyodorkan ponsel barunya hasil pemberian Akbar beberapa waktu yang lalu. Bangku koridor di samping perpustakaan menjadi tempat yang dipilih oleh Bimo untuk menemui perempuan yang sudah setengah tahun lebih ia pacari.
"Emang kenapa?"
Bita yang sejak tadi menundukkan kepala dan menatap ujung sepatunya langsung mengangkat kepala dan balik menatap cowok yang duduk di sisi kirinya. "Kamu masih bisa nanya emang kenapa?"
Bimo mengangkat bahu. "Nggak ada yang salah kan sama screen shot an yang kamu kasih liat ke aku."
Tangan Bimo menyodorkan benda persegi panjang warna hitam kepada pemiliknya setelah melihat bahwa yang muncul di layar benda itu adalah foto antara dirinya dengan Aurel kemarin malam.
Bita menarik napas dalam-dalam, kemudian ia bicara dengan auara bergetar, "kamu tau kan Bim, Aurel itu siapa?"
"Aurel temen kamu, kan?" tanya Bimo datar. "Temen kamu bukan berarti nggak boleh jadi temen aku juga kan?"
"Ya terus maksudnya–"
"Kamu nggak usah posesif deh, Ta!" Bimo justru memberi nada suara yang tinggi, "kamu juga selama ini masih sering jalan sama Akbar kan? Jangan dikira aku nggak tau!"
Bita mengeratkan genggamannya pada ponsel yang ia bawa. "Aku sama Akbar sering ketemu juga karena urusan Pensi ya asal kamu tau."
"Halah,"
"Kamu tuh sekarang jadi beda tau nggak." Bita terus menatap lawan bicaranya sementara Bimo memilih lurus kedepan, menghadap ke tembok samping perpustakaan. "Kamu nggak seneng ya aku pindah ke Jakarta?"
"Nggak usah berlebihan deh, Ta." Bimo menatap Bita sekilas. "Lagian kemarin juga aku perginya nggak berdua. Rame-rame."
"Oh ya? Tapi kenapa di story Aurel cuma kalian yang—"
"Udah deh!" potong yang cowok. "Daritadi yang lo ributin soal story, story, story terus! Pusing gue dengernya." Bimo kemudian bangkit dari kursi disusul Bita sedetik setelahnya. "Gue mau ke kelas."
"Aku belum selesai ngomong, Bimo," kata Bita halus.
"Gue nggak peduli, karena daritadi yang lo omongin itu semuanya nggak jelas!"
"Nggak jelas kamu bilang?"
"Iya. Lo tuh cewek nggak jelas! Murahan! Deket sama cowok lain padahal gue udah jelas-jelas ngelarang. Gue gerah pacaran sama lo. Gue nggak betah. Ngerti lo?" Bimo menunjuk-nunjuk wajah Bita yang sejak tadi hanya diam tanpa membalas makiannya sama sekali. "Gue ulangin. LO TUH PEREMPUAN NGGAK JELAS!"
Setelah membentak Bita dan tidak mendapat perlawanan apapun dari cewek itu, Bimo langsung berbalik badan dan melangkah menjauh dari Bita. Cowok itu berjalan cepat kearah koridor yang mengarah ke tangga dan akan membawanya ke lantai atas tempat kelas dua belas berada.
"Bim?" panggil Bita beberapa langkah sebelum punggung cowok itu akan segera hilang di balik tikungan.
"...." Tidak ada jawaban.
Bita kemudian menarik napas dalam-dalam. Hatinya sakit sekali sebab sejak kecil sebetulnya cewek berambut panjang itu tidak suka dibentak. Kemudian air mata Bita menetes bersamaan dengan suaranya yang kembali terdengar di telinga Bimo tepat sebelum tubuhnya tak terlihat karena terhalang tembok perpustakaan.
"Kalau kamu udah nggak mau lagi sama aku, kenapa kamu nggak putusin aku aja?"
***
AKBAR menyandarkan punggungnya ke tembok warna biru muda yang ada di belakangnya. Cowok itu kemudian memerhatikan Edo yang sibuk menari-nari seperti orang idiot saat Bubut memainkan gitar milik Steven yang dibawa jauh-jauh dari Papua, belum lagi tangan piawai Adit yang menabuh ketipung miliknya yang sengaja ditinggal di warung mamang untung acara Live Music dengan kearifan lokal.
