14. Matematika

12.8K 1.3K 258
                                    

On media:
The 1975 - Chocolate

***

BANYAK hal yang berubah dalam kurun waktu nyaris satu bulan. Setelah kepindahan di Jakarta, Bita merasa banyak yang membuat hari-harinya berbeda jauh dari sebelumnya. Jaraknya dengan Bimo yang semakin dekat, justru seperti membangun jembatan dan tembok tinggi agar keduanya tidak saling berkomunikasi. Sebab nyatanya, sudah tepat tiga hari Bimo tidak mengabari kekasihnya itu.

Ditambah lagi kehadiran Akbar. Cowok bertubuh tinggi dengan dada yang bidang dan terlihat nyaman untuk disandari itu betul-betul menjungkirbalikkan kehidupan Bita. Ditambah lagi kehadiran tim hore seperti Fia, Arya, Edo, Jaya, dan juga Fingky. Rasanya hidup Bita semakin rumit sekaligus semakin berwarna.

Iya, rumit, karena setiap kali dia menatap Akbar, Bita merasakan sesuatu yang lain. Hal yang bahkan tidak pernah ia rasakan saat bersama Bimo atau laki-laki lain yang terdahulu pernah mengisi hari-harinya.

"Bita?" tepukan dipundaknya membuat Bita yang sedang menatap kosong ke depan dengan sebutir bakso yang belum sempat ia santap di sendok yang ia pegang dengan tangan kiri langsung ikut tercebur ke mangkok kembali bersamaan dengan kembalinya Bita ke alam nyata.

Lamunannya sontak buyar.

"Eh, Ibu." Perempuan yang membiarkan rambutnya digerai itu langsung menoleh dan mendapati guru Matematika kelas IPS sedang berdiri di sisinya sambil menggelengkan kepala.

Karena sifatnya yang mudah berbaur dan wajahnya yang mudah dikenali karena tidak pasaran, Bita langsung bisa dihafal oleh beberapa guru. Salah satunya, Bu Indah.

"Kamu ini, mikirin apa, sih?" tanya guru bertubuh gemuk itu lengkap dengan kacamatanya yang sering melorot.

Bita jadi ingat kata-kata Akbar saat mereka makan jagung bakar malam itu.

"Lo tau nggak kenapa Bu Indah pesek?"

"Emang kenapa?" tanya Bita disela mengunyah jagung bakar asin pedas miliknya.

"Karena azab."

"Masa iya?"

"Iya lah, azab guru yang suka mempersulit muridnya."

"Ngaco lo ah!"

Bita nyaris tertawa kalau tidak ingat bahwa guru yang ia bicarakan dengan Akbar waktu itu berdiri di depannya saat ini. Maka yang dilakukan Bita hanya nyengir sampai deret giginya terlihat.

"Hehehe, makan, Bu?" tawar Bita berbasa-basi sekaligus mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, udah tadi." Bu Indah lalu menarik kursi plastik dan duduk di hadapan siswinya tersebut. "Ibu mau minta tolong sama kamu, boleh?"

"Minta tolong?" Alis mata Bita terangkat.

"Iya."

"Minta tolong apa, Bu?"

"Kamu tau Akbar, kan?" tanya Bu Indah sambil melipat tangannya di atas meja. Lalu ia berdeham. "Yang murid kelas IPS."

"Ooh, iya," Bita mengangguk dan tatapan matanya terkunci pada perempuan berusia tigapuluh tiga tahun itu.

"Jadi begini, Bita. Nilai Akbar di mata pelajaran Matematika itu jeblok terus. Sejak dia masih duduk di kelas sepuluh. Apalagi sekarang kalian kan sudah kelas dua belas. Semester dua besok kalian sudah harus mulai try out dan simulasi UN." Bu Indah mulai menjelaskan maksudnya menghampiri Bita ke kantin siang ini. Dan murid di hadapannya itu masih memasang telinga baik-baik. "Ibu sampai pusing gimana caranya ngajarin Akbar? Dan Ibu liat, nilai kamu selama tengah semester ini yang paling baik di mapel Matematika."

Somebody ElseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang