GEDUNG berlantai lima dengan dinding-dinding tinggi berwarna putih bersih langsung nampak di depan mata begitu Akbar berhenti dan memarkirkan motornya di tempat parkir biasa.
Lelaki itu lalu berjalan malas memasukki gedung sekolah. Selalu begini, ibarat kata, bagi seorang Akbar Imantaka, sekolah itu hukumnya Makruh. Akbar benci sekolah, apalagi Pak Risang si Kepala Sekolah dan Bu Tari, sang yang kalau kata Edo, bentuknya seperti lemper.
"Bar, Bar, woy!" Suara yang tidak asing lagi ditelinga Akbar langsung membuat lelaki yang tengah berjalan ke arah pintu masuk itu menoleh. Dan saat itu juga, senyumannya mereka begitu melihat Fingki —sahabatnya, muncul dari arah parkiran.
"Woy!" sapa Fingki begitu mereka berdua sudah berjalan beriringan. Fingky hari ini tampak lain dan Akbar masih berusaha mencari-cari apa yang membuat lelaki itu tampak berbeda.
"Seragam lo baru ya?" tanyanya.
"Hah? Kata siapa?" Fingki balik bertanya.
"Yaini gue lagi nanya, bahlul." Akbar memutar bola matanya.
"Kaga," Fingki menggeleng. "Kenapa? Putih bersinar yak?"
"Naj—"
"Oi! Tungguin gue!" Dari arah lain, suara bariton milik Edo menggelegar. Dia sudah berlari ke arah Akbar dan Fingki yang sejak tiga detik lalu berhenti melangkah dan memutar tubuhnya ke arah belakang. "Nanti abis istirahat madol, yuk?" ajaknya begitu dia bergabung dan merangkul bahu kedua temannya.
"Ke mana?"
"Ke rumah si Yanto aja?" usul Fingki. Yang dimaksud Yanto adalah Arya. Salah satu teman tongkorongan mereka. Entah siapa yang awal mulanya menyebut anak lelaki itu dengan sebutan Yanto. Padahal nama yang sesungguhnya adalah Dafaryanta Galih.
"Lo pada aja deh ya," kata Akbar tiba-tiba. Tidak biasanya dia menolak ajakan membolos teman-temannya begini.
"Lah? Kemasukan setan Mbak Yayuk lo?" ledek Edo sekenanya.
"Mbak Yayuk siapa pula!" Fingki sontak terkekeh dan menepuk kepala Edo dalam konteks bercanda. "Ini lagi tumben banget lo nolak diajak madol?" Kali ini tatapannya berpindah pada anak lelaki yang memakai jaket abu-abu andalannya untuk menutupi kemeja sekolah yang ia pakai.
"Gue lagi dalam masa Iddah, man," kata Akbar dramatis.
"Anjrit, lo mau hijrah apa gimana, nih?" sahut Fingki begitu ia teringat materi Pendidikan Agama Islam yang dia dalam dari Bu Eni minggu lalu.
"Nggak sih, gue males aja. Si Teddy Bear lagi gencar-gencarnya telepon bokap gue, terus ngadu kalo gue bolos, kan berabe tuh kalo duit jajan dibikin macet, bisa meninggal gue." Akbar bercerocos menceritakan nasib terkininya. Dan yang dia sebut Teddy Bear, tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Risang. Si Kepala Sekolah berperut buncit.
"Kalo lo meninggal nanti gue ngelayat." Edo nyengir.
"Bener juga," imbuh Fingky.
"Ada juga akhlak mulia lo berdua ya," balas Akbar seraya tersenyum pasrah dan mengacungkan ibu jarinya ke udara sebagai respon dari perkataan teman-temannya. "Jaya sama si Yanto mana, nih?"
"Nggak masuk kali," jawab Edo sok tahu.
"Lah garing banget dong gue di kelas sendirian."
"Ya makanya bolos aje, Sabroni."
"Sabroni siapa bangsat?" Fingky menatap Edo dengan pandangan serius.
"Au."
Akbar menghela napas. Ia lalu mengusap pangkal hidungnya yang gatal dengan tangan kiri sebelum akhirnya mimik wajah lelaki itu berubah semangat.
