On media:
Daniela Andrade - ShoreANGIN pukul dua siang menerpa rambut Akbar yang sudah agak gondrong sesekali cowok itu tampak menyisir rambutnya kearah belakang agar tidak menutupi dahi.
Jam pelajaran belum berakhir. Di kelas IPS masih ada Seni Budaya, dan di kelas IPA masih ada Bahasa Indonesia. Tapi Akbar dan Arya tidak peduli. Keduanya sama-sama bersandar pada pagar pembatas rooftop sekolah sebelah timur. Tempat ini adalah tempat membolos darurat. Hanya beberapa siswa yang pernah ke sini. Dan mereka dipastikan musuh bebuyutan guru BK.
"Kenapa?"
Suara Akbar akhirnya keluar, ia lalu melirik kearah kanan, kearah Arya yang matanya menatap lurus kedepan, ke hampran gedung-gedung dan bangunan yang bersebaran di sekitar sekolah.
Tadinya, Akbar tidak berniat membolos dimata pelajaran milik Pak Sanusi itu. Tapi Arya langsung mengirimkan pesan kepadanya yang mengharuskan mereka bertemu empat mata. Di rooftop sekolah.
Tentu saja tanpa Edo, Fingky, dan Jaya.
"Lo ngajak gue kesini kenape dah?" tanya Akbar lagi saat pertanyaan sebelumnya dibiarkan menggantung di udara.
"Gue suka sama Bita."
Singkat. Padat. Jelas. Dan tegas.
Akbar tertegun. Sebetulnya ia sudah menduga bahwa Arya juga menaruh perasaan pada perempuan itu. Dan yang membuat Akbar langsung terdiam adalah, ia tidak menyangka Arya akan secara terang-terangan mengatakannya.
"Gue nggak tau apa yang lo lakuin sama Bita di ho—"
"Gue nggak tidur sama dia," potong Akbar. Ia sudah tau dari awal kemana asumsi orang-orang di sekolah sejak tadi pagi. "I mean... we're didn't having sex. Just slept."
"...." Arya terdiam. Tidak merespons. Bukan karena tidak percaya. Tapi karena ia ingin mendengar lebih jauh. Arya mengenal Akbar dengan baik. Arya tahu seperti apa orang yang saat ini berdiri di sebelahnya. Dan sejak awal, Arya tahu Akbar masih bisa menggunakan akalnya dengan baik.
"I– I just lay next to her that night." Akbar menatap kearah atas, ke langit yang warnanya mulai kelabu karena hujan akan segera turun. Ia berusaha mengingat setiap detik dari malam itu.
Malam dimana Bita tidur di pelukannya, di bawah selimut yang sama. Itu adalah kali pertama Akbar tidur satu kasur dengan wanita. Itu adalah kali pertama Akbar mencium seorang gadis sebelum memutuskan mengakhiri hari beratnya. Dan itu adalah kali pertama Akbar merasa betul-betul nyaman menghabiskan waktu dengan seseorang.
Dan salahnya, orang itu justru Bita. Bukan Lula.
Arya menoleh. Ia melihat setumpuk perasaan bersalah di wajah Akbar saat lelaki itu mengatakan yang sejujurnya. "She called me."
"What?"
"Dia telepon gue. Siangnya."
Akbar terdiam. Ia sama sekali tidak tahu bahwa esok hari setelah malam panjang itu, Bita menghubungi sahabatnya. "Gue–"
"She cried." Arya bicara lagi.
"Nangis?" tanya Akbar. Matanya menyipit. Mencoba mengingat beberapa jam sebelum mereka sama-sama beranjak dari tempat tidur dan Bita memutuskan masuk ke toilet lebih dulu tanpa bicara apa-apa.
Memori kembali berputar di otak Akbar. Pagi itu, mentari belum sepenuhnya muncul, warna langit masih gelap.
Tangan kiri Akbar masih mengalungi leher perempuan yang malam itu memakai kaos warna cokelat miliknya. Jarak keduanya bahkan nyaris tidak ada saat tangan kanan Akbar sibuk membalas chat dari Lula yang sejak semalam berusaha menghubunginya.