On media:
Justin Bieber - Stuck In The Moment(Musiknya ngga galau, tapi liriknya sangat relatable sama Akbar-Bita so...)
KAFE tempat Akbar bekerja dengan sistem part time itu sudah mulai sepi. Pelanggan terakhir sudah pergi meninggalkan tempat yang dindingnya di dominasi oleh kaca dan lampu-lampu gantung yang tersebar indah di seluruh penjuru ruang dengan warna warm white yang cantik.
Tangan Akbar masih setia mengelap sisa noda kotoran di meja nomor tujuh untuk membantu pegawai kafe yang lebih senior, Tamara.
Ini genap satu minggu Akbar bekerja di tempat yang direkomendasikan Jaya. Selain gajinya yang tidak terlalu kecil dan tempatnya yang tidak jauh dari sekolah, Akbar akhirnya memutuskan untuk mengambil pekerjaan itu setiap pulang sekolah. Setidaknya, uang gajinya nanti akan cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga tidak perlu membebani ekonomi keluarganya yang sedang jatuh.
"Caramel Macciatto nya satu." Suara seorang perempuan dari arah kasir membuat Akbar mengalihkan padangannya. Napasnya langsung ia tahan begitu melihat Bita dengan kardigan putih yang ia pakai sedang memesan segelas kopi.
Bita yang malam ini membiarkan rambutnya tergerai lama kelamaan menyadari bahwa ada seseorang dari arah jam tiga sedang memandang kearahnya, perempuan itu kemudian menoleh.
Tatapan keduanya bertemu.
Tadinya, Bita hendak membawa kopi pesanannya pulang untuk dinikmati di kamar seraya mengerjakan tugas dari Pak Wawan yang belum rampung ia kerjakan di rumah Caca sore tadi.
Tapi niatnya sirna saat cewek itu memutuskan duduk di meja nomor delapan saat kopi pesanannya sudah jadi. Bita lalu meletakkan tas berisi buku-buku tugasnya di atas meja. Tepat di samping kiri gelas plastik berisi es caramel macchiato.
Akbar kemudian memutuskan menghampiri meja dimana seorang perempuan duduk sendirian di meja bundar berwarna putih.
"Hei," sapa yang laki-laki.
Bita menelan ludah. Ia betul-betul rindu karena ini sudah hampir tiga hari ia dan Akbar tidak bicara satu sama lain. Yang disapa lalu tersenyum. Berbeda dari saat terakhir keduanya bicara di dekat gerbang sekolah. Sebelum Bita akhirnya berlalu pergi dan Akbar tak bisa mengejar karena ada hal lain yang sudah terlanjur ia pilih.
"Kok bengong?" kata Bita berubah ramah.
Cewek itu betul-betul berhasil menjungkir balikkan perasaan Akbar. Bita begitu susah ditebak. Kadang perempuan itu bisa menjadi sosok yang lembut dan paling menyenangkan di dunia. Sehingga membuat Akbar pengin menikahinya saat itu juga.
Tapi kadang, Bita berubah dingin. Lebih dingin dari embun di puncak pukul empat pagi.
"Lo mau duduk di sini?" tanya Bita lagi begitu reaksi Akbar hanya diam terpaku seraya menatap wajahnya.
"B- bentar," kata Akbar pelan. Cowok itu lalu menghampiri rekan kerjanya yang bertugas sebagai barista kafe sebelum kemudian bicara sesuatu yang Bita tidak ketahui. Lalu menghampiri meja nomor delapan lagi. "Hei!"
"Hei," balas Bita.
"Aku– gue duduk ya,"
"Santai aja lagi," Bita tersenyum.
Akbar lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Bita yang baru saja mencobloskan sedotan plastik warna hitam ke tutup gelas plastik. Kemudian perempuan itu mulai meminum isi gelasnya.
"Kata Edo, lo udah semingguan kerja di sini," kata Bita setelah ia menelan minumannya.
Akbar mengangguk. "Iya, udah seminggu."