8. Promise and Punishment

13.2K 1.4K 141
                                    

"LO tuh udah kayak cewek murahan!"

Dinding pertahanan yang dibangun Bimo masih belum dia runtuhkan. Di hadapannya kini sudah ada segelas sirup dingin, dua toples camilan dan tentu saja Bita yang menurut pengakuannya tidak bisa dihubungi sejak tadi pagi.

Sama halnya Bita. Wajahnya masih kusam karena semalaman tadi dia berpetualang dan sama sekali belum tidur. Alih-alih bisa beristirahat, saat pertama menapakkan kaki di teras rumah, Bimo sudah menggerutu dan mengajak Bita mendiskusikan sesuatu yang katanya penting.

Detak jam adalah satu-satunya sumber suara yang mengisi ruang tamu rumah berlantai dua itu. Bita dan Bimo masing-masing mengatupkan bibir. Seperti mati dan menyerah pada sepi. Sampai Bimo menggebrak meja ruang tamu dan isi gelas yang berembun itu tumpah walau sedikit.

Mata Bita langsung terpejam. Setengahnya dia merasa terkejut, dan setengahnya lagi dia merasa takut.

"Berapa kali aku harus kasih tau?!" tanya Bimo dengan nada tinggi. Untungnya, saat dia sedang meledak marah begini, Anisa sedang pergi ke pasar dan tidak ada di rumah.

"Aku nggak ngapa-ngapa—"

"TERSERAH!" potong Bimo mementak. Matanya menyalak marah dan Bita hanya bisa menunduk tanpa berani menatap. "Kamu nggak kenal Akbar! Dan aku nggak mau kamu deket-deket sama Akbar! Ngerti?"

"Tapi— aku sama Akbar cuma temenan, Bim."

"Aku nggak mau tau!" Bimo menggeleng. Nada bicaranya masih keras, berbanding terbalik dengan suara Bita yang sudah bergetar menahan tangis sejak Bimo pertama kali membentaknya. "Mau kamu temenan sama Akbar, mau kamu ngapain kek sama Akbar, aku tetep nggak suka! Ngerti kamu?!"

Bita menunduk. Air matanya tidak terbendung lagi. Pertahanan yang ia bangun kuat-kuat dan sekokoh mungkin seolah luruh dengan hitungan detik dengan bentakan Bimo. Asal tahu, tidak semua perempuan tahan dibentak. Dan Bita termasuk satu diantaranya.

Bimo diam. Bahunya naik turun mengatur napas. Ia mengeratkan kepalan tanannya untuk menyalurkan emosi. Matanya menatap Bita dengan tatapan abstrak yang masih tak terbaca.

Bita belum bersuara. Sama seperti Bimo. Bahunya juga naik-turun. Hanya saja bedanya, Bita seperti ini karena menahan isak yang sejak tadi seolah mendesak ingin ia keluarkan. Ini memang bukan pertama kalinya Bimo membentak-bentak Bita, tapi ini, untuk pertama kalinya Bita menangis karena kerasnya suara Bimo.

"Ta," panggilnya membuat rasa takut di benak Bita seperti meredup dan nyaris hilang. Tapi begitu Bimo bangkit mendekati Bita, ketakutan itu hadir lagi. Bahkan lima kali lipat lebih kuat daripada tadi, saat lelaki itu memakinya. "Bita...,"

Tidak ada jawaban. Perempuan itu mematung di tempatnya duduk. Sampai Bimo datang dan merengkuh tubuhnya ke dalam dekapan. Bita masih diam saja. Tidak membalas dekap itu. Tidak melingkarkan tangannya ke pinggang Bimo seperti apa yang pernah dia impikan saat keduanya masih menjalin hubungan jarak jauh.

Ini sama sekali bukan mimpi-mimpi mereka dulu.

"Bita, sayang, aku minta maaf, ya." Bimo mengusap punggung perempuan itu dengan lembut. Sementara tangannya sibuk menyelipkan anak rambut Bita yang menempel dengan pelipisnya yang basah oleh keringat. "Aku cuma nggak suka kamu deket-deket sama dia, aku cuma, aku takut kamu ninggalin aku."

Suara Bimo masuk dengan lembutnya menembus telinga kiri Bita. Membuat ketakutan perempuan itu hilang terangkat bersama usapan Bimo dan dengan gerakan lemah, Bita mulai melingkarkan tangannya di pinggang anak lelaki itu.

"Aku nggak suka— dibentak— bentak," katanya disela-sela isak tangis. "Aku b- bukan perempuan m- mu- murahan."

"Iya, maafin aku."

Somebody ElseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang