*****
"Disini, aku menulis sebuah kisah. Tentang sebuah penantian yang berujung kepahitan. Disini, aku menulis sebuah cerita. Tentang takdir yang tak pernah mau memberikan kebahagiaan."Arsya menutup buku hariannya. Sudah satu minggu berlalu tanpa Julian disisinya, untuk selamanya. Selama ini dia berusaha untuk kuat, untuk tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya, namun hatinya belum sanggup terbiasa karena luka itu terlalu membekas.
Tubuh itu kurus, bahkan terlihat ringkih. Wajahnya pucat, sembab, dan terlihat jelas kantung matanya. Rambutnya yang dulu berwarna pirang, sekarang terlihat sedikit kemerahan karena tak pernah merawatnya.
Dia berdiri didepan jendela. Selama seminggu ini dia tidur di kamar Julian. Memeluk jubah kerajaan Julian sembari mencoba tidur, walau kenyataannya dia akan selalu berakhir dengan tangisnya. Arsya sungguh merindukan Julian disampingnya.
Arsya mengingat bagaimana Julian pertama kali menatapnya di sekolah hari itu sebagai murid baru. Mengingat bagaimana Julian selalu memperhatikannya dengan tatapan tajamnya. Mengingat bagaimana Julian melindunginya dari orang-orang Kerajaan Agathaya malam itu. Mengingat bagaimana Julian menahan rindu dalam hatinya untuk dirinya. Arsya merasa jahat pada Julian.
Jika Tuhan memperbolehkan dirinya menerima kesempatan kedua, Arsya ingin memulainya kembali. Memberi Julian kebahagiaan atas menunggu dirinya yang akan berinkernasi.
Bunyi derit pintu yang terbuka membuat Arsya berbalik, hendak melihat siapa yang masuk. Ratu Tirtana, ibunda Julian, Ratu Yulika. Sosok anggun itu berjalan mendekati Arsya dengan senyum lembutnya. Memperlihatkan dirinya bahwa sosok itu kuat menerima kenyataan ini.
Arsya menunduk, merentangkan tangannya, menunjukkan rasa hormat pada orang penting di kerajaan ini. "Bunda," Sebutnya. Sedari dulu, entah dimasa lalu atau masa sekarang, Arsya selalu memanggil Ratu Yulika dengan sebutan bunda. Itu juga adalah perintah dari Ratu Yulika sendiri.
Ratu Yulika duduk di kursi kayu yang beralas bantal sutra tipis dan lembut, Diikuti Arsya yang duduk diseberangnya. "Kau masih memikirkannya, Arsya?"
Arsya terdiam sejenak, sedetik kemudian dia tersenyum lemah dengan membuang pandangannya keluar jendela. "Entahlah, bunda. Aku masih merasa dia tetap disini. Tidak pergi dari dunia ini. Aku merasa dia tak mati meninggalkanku." Ujarnya pelan.
Sesudah itu tak ada percakapan lagi. Arsya hanya menatap hampa pada pemandangan langit yang biru tanpa awan yang cerah. Sedangkan Ratu Yulika hanya menatap Arsya dengan tatapan lemah.
Perasaannya sebagai seorang ibu juga sama seperti Arsya. Dia merasa Julian masih hidup. Masih ada di dunia ini. Perasaan tersayat pun juga dirasakannya jika kembali mengingat kenyataan itu.
Julian telah pergi, untuk selamanya. Meninggalkan orang yang dikasihininya. Meninggalkan jutaan kenangan pada hati orang terdekatnya.
Ratu Yulika menangis histeris ketika Vano membawakan guci putih saat itu.
Dia tau apa yang ada didalamnya. Itu abu Julian yang telah mati.Sama seperti Arsya, perasaan seorang ibu lebih terasa sangat menyayat jika berhubungan dengan anaknya.
Ratu Yulika tak ingin larut dalam kesedihan. Dia ingin tegar seperti suaminya, Raja Lian. Walaupun dia tau, Raja Lian lebih terpuruk darinya. Mengingat Julian adalah anak yang paling dibanggakannya.
"Arsya," Panggilnya lembut sembari menggenggam tangan Arsya. "Semua ini, memang seperti mimpi. Tapi jika tak sanggup menerima kenyataannya, bagaimana kita melanjutkan hidup kedepannya?"
Arsya menatap Ratu Yulika dengan senyum lemah, membalas genggaman tangannya. "Aku selalu ingin terlihat kuat menerimanya, bunda. tapi hati ini tak bisa, hati ini belum sanggup." Ujarnya lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Mine
FantasyArsya Yunita Girlion. Itu namaku. Perempuan yang masih duduk dibangku SMA kelas XI. Umurku belum mencapai 17 tahun. Dan semua temanku berkata, aku adalah perempuan cantik dan pecicilan di sekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. ...