*****
"Maaf, Arsya. Aku Aaron, bukan Julian."Kalimat itu adalah kalimat pembuka saat dia terbangun dari ketidaksadaran dirinya dua hari yang lalu. Arsya termenung, meratapi kehidupannya yang menyedihkan.
Arsya tau, dia memang Aaron dan bukan Julian. Tapi, Arsya masih tak percaya jika Julian pergi meninggalkannya. Secepat itukah? Arsya masih merasa jika Julian sekarang disampingnya, menatapnya dengan tatapan cintanya.
Lagi-lagi air mata itu jatuh meluruh dipipinya yang semakin tirus dan putih pucat. Sudah tiga hari semenjak serangan Kerajaan Agathaya yang menewaskan Julian.
Bunyi derap langkah masuk ke kamar Julian, mendekati Arsya yang tidak bergerak sedikitpun. Aura datang membawa nampan, dia membawakan makanan untuk Arsya yang sedari pagi tadi belum makan apapun.
"Putri-"
"Jangan panggil aku putri, karena pangeranku sudah tak ada." Ujarnya lirih, sarat akan kepedihan didalamnya.
Aura terdiam sejenak sebelum meletakan nampan itu didekat meja. Lalu dia mendekati Arsya, bersimpuh disebelah Arsya yang tak menanggapi dirinya ada disamping.
"Saya tau perasaan-"
"Kau tak tau apa-apa." Arsya memotong ucapan Aura untuk kedua kalinya. Dia berujar dengan pelan namun dingin.
Aura hanya menghela nafas, dia menggapai telapak tangan Arsya yang tetap tak mengacuhkannya. "Pu-, Arsya, saya tak tega melihat anda seperti ini."
"Jika kau tak tega, tolong bawa Julian kembali." Arsya mulai menatap Aura dibawahnya. Air mata terus menetes dipipinya. Matanya sembab dan terlihat sedikit kantung matanya.
Aura menggeleng pelan, dia tersenyum lemah dan terlihat satu tetes air mata keluar dari sudut matanya. "Itu tak akan pernah bisa, Arsya."
"Kenapa? Apa Julian marah karena dulu aku meninggalkannya selama beratus-ratus tahun? Dan sekarang menuntut dendam ketika aku mengingat semuanya, dia pergi meninggalkan aku selamanya?" Arsya mulai meninggikan suaranya sedikit, menatap Aura dengan kesal dan terisak hebat.
Lagi-lagi Aura menggeleng dan mencoba menenangkan Arsya. "Tidak, bukan begitu." Melihat Arsya yang mulai tenang kembali, Aura melanjutkan ucapannya. "Itu semua karna memang takdir. Apa anda pernah mengingat ucapan anda dulu? Bahwa; semua takdir itu tak akan pernah berubah, sekalipun kau mengetahui takdir kedepanmu."
Arsya terdiam dengan nafas teraturnya. Dia mengingat semua ucapan-ucapan yang pernah dia ucapkan dulu di masa lalu. Namun itu dulu, sewaktu dirinya masih menjadi vampir, masih menjadi makhluk abadi yang percaya segala hal.
Sekarang dia adalah manusia. Sekalipun ini adalah jiwa rinkernasi, tapi ditubuh ini tetaplah jiwa manusia. Arsya tetaplah Arsya yang sekarang, Arsya yang keras kepala. Berbeda seperti dulu, Arsya yang lemah lembut.
"Tapi itu dulu, sewaktu aku masih menjadi vampir. Sekarang aku adalah manusia, makhluk yang mudah musnah." Ucapnya pelan.
Aura menggeleng kuat. "Tidak." Ujarnya tegas. "Sekarang anda adalah keduanya, setengah vampir dan setengah manusia. Anda adalah jiwa rinkernasi. Ada darah vampir dan manusia dalam tubuhmu." Jelasnya.
Arsya tak menanggapi. Sejujurnya dia sudah tau tanpa dijelaskan lagi oleh Aura, karna dia tau dari mimpi itu yang dia simpulkan sendiri. Namun Arsya tak mau percaya diri, pasalnya makhluk vampir yang berinkernasi akan menjadi mahkluk yang paling kuat dikalangan kaumnya. Dan Arsya tak percaya itu, karena yang dia tau dari dulu dia sudah ditakdirkan untuk menjadi makhluk yang lemah tanpa bisa apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Mine
FantasíaArsya Yunita Girlion. Itu namaku. Perempuan yang masih duduk dibangku SMA kelas XI. Umurku belum mencapai 17 tahun. Dan semua temanku berkata, aku adalah perempuan cantik dan pecicilan di sekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. ...