******"Jika tak bisa menyerang secara langsung, serang mereka dengan tiba-tiba namun mematikan."
*****
"Pangeran?! Putri?!"
Vano dan Aura berseru bersama, melesat cepat ke arah Julian yang memeluk Arsya erat guna melindungi dari serangan tiba-tiba itu.
Julian menatap Arsya, begitupun sebaliknya. "Kau baik-baik saja?" Tanyanya menggunakan bahasa yang baku seperti dulu terhadap Arsya.
"Apa... apa yang terjadi?" Tanya Arsya dengan nada gemetar dan matanya menatap sekeliling.
Mereka berempat menatap asap tebal itu akibat ledakan dari bawah tanah yang berangsur-angsur menghilang, menampakkan keadaan pesta yang sudah luluh lantah. Arsya menangis pedih saat melihat keadaan semua orang yang di pesta.
Sebagian dari mereka mati dengan penuh luka dan darah. Dan sebagian masih hidup, namun mendapatkan luka yang sangat parah dan kemungkinan untuk bertahan hidup tak akan memungkinkan.
Tangis Arsya pecah saat melihat dua orang yang dia sayang, tergeletak tak berdaya dekat pohon yang berukuran sedang, mati dengan wajah penuh dengan luka dan darah yang keluar. Dia berlari, memangku kepala ibunya yang memejamkan mata dengan eratnya. "Ibu... bangun, jangan tinggalkan Arsya. Arsya gak mau kehilangan kedua orangtua Arsya untuk kedua kalinya..."
Arsya memeluk kepala ibunya yang sama sekali tak merespon ucapannya. Tangan Arsya menggapai tangan ayahnya yang terbaring tepat disamping ibunya. "Ayah juga jangan tinggalkan Arsya. Siapa yang akan menasehati Arsya lagi jika Arsya berulah di sekolah?" Arsya menggoyangkan tangan ayahnya bersamaan air mata jatuh tepat ditelapak tangan ayahnya.
"Arsya tak ingin kehilangan orangtua untuk kedua kalinya," Ujarnya lirih dengan nada kepedihan.
Kepalan tangan Julian mengerat sampai buku-buku jarinya putih. Matanya terpejam dengan erat dan giginya bergemeletuk. "Apa ini rencana Kerajaan Agathaya?" Desisnya. Matanya menatap kesekeliling dengan tatapan membunuh.
Aura dan Vano menatap awas sekitar.
Dari awal mereka -Vano dan Aura, datang ke pesta ini, perasaan mereka mengatakan akan terjadi sesuatu yang merugikan. Maka dari itu, mereka mengusulkan Julian untuk membawa pasukan kerajaan ikut bersama dan keluar dari persembunyiannya jika sesuatu benar-benar terjadi di pesta Arsya.
Vano menatap Aura. "Aku merasakan ayah disini, namun auranya berbeda dari yang kita kenal. Aura ayah kali ini lebih... hitam," Lirihnya, namun didengar Aura dengan jelas, begitupun Julian sehingga dia menatap Vano dengan tajam.
"Apa maksudmu, Vano?" Tanyanya dingin.
"Apakah pangeran tak merasakan ayah ada disini? Namun, aku juga tak begitu yakin." Ujar Vano lirih dan tetap menatap awas kesekeliling.
Julian, Vano, dan Aura terkesima saat mendengar pekikan dari Arsya. Disana, kedua tangan Arsya ditahan oleh dua orang yang memakai jubah hitam sedikit kebiruan yang bertudung menyembunyikan wajahnya. Persis seperti iblis pencabut nyawa.
"LEPASKAN DIA!" Teriak Julian marah. Matanya berubah, berwarna merah kehitaman dengan titik api ditengah iris mata itu.
Orang yang memakai setelan jas rapi muncul dibalik Arsya dan berdiri tepat didepan Arsya. Tersenyum meremehkan lalu tangannya menyentuh dagu Arsya yang ketakutan dengan air mata terus mengalir. "Ternyata dia lebih cantik jika berekspresi seperti ini," Ujarnya merendahkan.
"Apa yang kau rencanakan, Antonio? JANGAN SENTUH DIA, IBLIS!" Jeritnya tertahan diakhir kalimat.
Julian ingin maju, menyelamatkan Arsya dari mereka, namun dia takut jika mereka justru tambah menyakiti Arsya. Dia tak mau ambil resiko, tak mau gegabah. Julian mencoba mengikuti alur Antonio, selagi mereka tak melukai Arsya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Mine
FantasíaArsya Yunita Girlion. Itu namaku. Perempuan yang masih duduk dibangku SMA kelas XI. Umurku belum mencapai 17 tahun. Dan semua temanku berkata, aku adalah perempuan cantik dan pecicilan di sekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. ...